by

BPOM Temukan Kejanggalan Prosedur dalam Pengembangan Vaksin Nusantara

Depokrayanews.com- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut ada kejanggalan prosedur dalam pengembangan vaksin Nusantara yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Menurut BPOM, vaksin Nusantara tidak didahului oleh uji praklinik sebagai protokol penting untuk vaksin yang aman.

“Pengujian uji klinik fase 1 dilakukan pada 30 November 2020, namun tidak disertai dengan data pengujian praklinik,” kata Kepala BPOM, Penny K Lukito, melalui keterangan resminya yang diterima, Kamis 15 April 2021.

Karena itu kemudian BPOM meminta peneliti untuk menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian, mengingat produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah dari sel dendritik.

“Namun permintaan tersebut tidak dipenuhi peneliti dan sponsor dengan justifikasi bahwa penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada manusia, bersifat autologous dan tidak menggunakan zat tambahan lain,” kata Penny.

Padahal, kata Penny, dosis dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinik untuk indikasi lain. Artinya, hal tersebut tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk terapi kanker, bukan untuk vaksin atau pencegahan penyakit. Selain itu, penggunaan sel dendritik pada vaksin ditambahkan antigen virus (bagian dari virus SARS CoV-2) dan zat tambahan lainnya untuk menjadikan sel dendritik tersebut menjadi vaksin.

Meski demikian, BPOM pada 1 Desember 2020 menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase 1. Tapi PPUK tersebut dikeluarkan dengan sejumlah ketentuan khusus karena pertimbangan aspek keamanan pada subjek dan tidak tersedianya uji praklinik. Ketentuan khusus tersebut adalah:

1. Sebelum uji klinik, fasilitas pengolahan produk harus memenuhi persyaratan cara pembuatan obat yang baik/memiliki penjaminan mutu untuk menghindari risiko produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.

2. Pada proses informed consent harus dijelaskan kepada calon subjek bahwa uji klinik ini merupakan penelitian first in human dan uji yang sebelumnya dilakukan adalah uji in vitro.

3. Pada saat pelaksanaan uji klinik, peneliti diminta untuk memastikan jaminan mutu dan keamanan produk uji.
(mad)

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *