by

Jusuf Hamka, Mualaf yang Pernah Jadi Pedagang Asongan di Pasar Baru

Depokrayanews.com- Nama pengusaha nasional, Jusuf Hamka tiba-tiba menjadi pembicaraan nitizen setelah pernyataannya yang sangat mengagetkan banyak pihak. Anak angkat Buya Hamka itu terang-terangan mengatakan Bank Syariah kejam dan seperti lintah darah.

Pernyataannya itu berdasarkan pengalamannya bekerjasama dengan sindikasi bank syariah swasta yang dianggapnya sangat tidak manusiawi. Menurut Jusuf, Bank Syariahnya bagus, tapi ”kelakuan” manajemen bank syariahnya yang tidak bagus.

Apa yang dialaminya itu, dibeberkan Jusuf Hamka ke media, sehingga menimbulkan reaksi dari banyak pihak, termasuk dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jusuf pun akan dipanggil OJK dalam waktu dekat.

Lalu siapa Jusuf Hamka yang dinilai sangat berani membeberkan prilaku pengelola bank syariah swasta itu?

Jusuf Hamka lahir di Samarinda, pada Desember 1957. Jusuf memeluk Islam saat bertemu Buya Hamka di usia 23 tahun, pada tahun 1981. Waktu itu ia melihat di Majalah Tempo, ada orang masuk Islam (disyahadatkan) di Masjid Al-Azhar.

Jusuf merupakan pendiri Warung Nasi Kuning untuk kaum duafa. Lelaki yang bernama asli Alun Josef ini juga mendirikan Masjid Babah Alun di kolong jalan Tol Ir Wiyoto-Wiyono, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Masjid yang sama juga dibangunnya di pinggir jalan tol Depok Antasari (Desari).

Jusuf Hamka adalah pimpinan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) yang dulu didirikan salah satu putri Presiden Soeharto yakni Siti Hardijanti Hastuti Indra Rukmana yang lebih dikenal sebagai Mbak Tutut.

“Saya anak kampung yang mempunyai rezeki seperti anak kota” kalimat tersebut seringkali dilontarkan Jusuf Hamka saat melakukan wawancara dengan berbagai media.

Jusuf menyadari bahwa dia lahir dari keluarga sederhana dan banyak menghabiskan masa kecilnya di pinggiran kota Jakarta. Jusuf pernah mengalami kesulitan hidup ketika bertahun-tahun menjadi seorang pengangguran.

Ia menghabiskan masa kecilnya di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat sebagai pedagang asongan untuk menambah uang jajan kala itu. Segala jenis makanan mulai dari es mambo hingga kacang-kacangan yang dibungkus dengan plastik pernah ia jual di sekitar masjid Istiqlal.

Karena itu Jusuf mempunyai banyak teman yang berasal dari penduduk pribumi pemeluk agama Islam. Bahkan ketika bermain ke rumah temannya ia selalu penasaran mengapa kawannya tersebut diperintahkan sholat oleh orang tua, hal itu juga pernah ia alami saat temannya berkata “Nanti ya habis beduk subuh” sebelum mereka pergi ke Monas untuk olahraga pagi.

Semasa kecil dagangan Jusuf Hamka selalu habis karena pembelinya terkesima dengan penampilan Jusuf yang bersih dan lucu, maklum kala itu hanya ia seorang yang mempunyai perawakan Tionghoa di antara temannya. Namun, Jusuf tak segan membagikan hasil penjualannya itu untuk mentraktir teman yang dagangannya tidak laku.

Beranjak remaja ia kembali ke Samarinda tempat keluarganya berasal, di umur 17 tahun Jusuf memutuskan untuk dikhitan tanpa sepengatahuan orang tuanya. Karena hal tersebut, di rumah ia sering menutupi dengan memakai sarung namun gerak-geriknya terbaca oleh sang kakak dan akhirnya mengaku jika ia sudah dikhitan.

Tapi orang tuanya tidak marah. Bahkan membebaskan Jusuf untuk mempelajari lebih dalam agama yang berbeda dengan keyakinan keluarga.

Setelah kembali ke Jakarta ia memutuskan untuk menjadi mualaf dan bertemu dengan Buya Hamka di Al-Azhar saat ingin mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena melihat ketulusan Jusuf, ia pun diangkat menjadi anak ideologis dan diberi kata ‘Hamka’ di belakang namanya.

Saat itu ia tidak memutuskan untuk menjadi sosok yang sama dengan Buya. Jusuf ingin menyebarkan agama Islam dengan caranya sendiri, yakni menjadi seorang pengusaha.

Jusuf pernah mengenyam pendidikan di sejumlah perguruan tinggi, seperti FISIP Universitas Jayabaya pada 1980, Bisnis Administrasi Columbia College, Vancouver, Kanada pada 1977, Kedokteran Universitas Trisakti 1974, bahkan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus. Namun semua itu tidak dituntaskan sampai mendapat gelar.

Kepahitan dirasakan oleh Jusuf karena tidak kunjung mendapat pekerjaan, padahal ia telah melamar ke lebih dari 200 perusahaan. Hal itu membuat dirinya selama 14 tahun dari 1994-2008 tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hanya ikut-ikutan teman.

Singkat cerita, Jusuf belajar dari kesalahan dan mulai menggeluti pekerjaan sebagai penasihat di tiga perusahaan, diantaranya PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indocement Tunggal Prakarsa, hingga akhirnya menjadi direktur utama di PT Citra Marga Nusaphala Persada.

Kesuksesan yang ia gapai sekarang tak lantas membuat Jusuf lupa diri, dari pengalamannya selama menjadi pedagang asongan ternyata menginspirasi Jusuf untuk selalu bersedekah. (ris)

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *