by

Kasus Mafia Tanah, BPN Depok Digugat di PTUN Bandung

Depokrayanews.com- Kuasa Hukum Ida Farida (62 Tahun), Bernard Paulus Simanjuntak menduga ada oknum pegawai BPN Kota Depok yang terlibat dalam penerbitan kembali sertifikat di lahan yang saat ini menjadi sengketa antara Ida Farida dengan PT Pakuan Sawangan Golf (PSG), di Sawangan, Kota Depok.

“Kami melayangkan gugatan terhadap BPN Depok ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung karena kami menemukan banyak kejanggalan dari kasus tersebut,” kata Bernard Paulus seperti dikutip dari Gatra.com, Kamis 6 Januari 2022.

Menurut Bernard, kasus sengketa antara Ida Farida dengan PSG sudah berlangsung sejak tahun 2012 lalu. Kasus ini pun bergulir hingga ke tingkat Peninjauan Kembali dengan putusan status cacat formil alias Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).

Belakangan, tahun 2021 pihak BPN Depok menerbitkan sertifikat terhadap PSG, padahal lahan tersebut masih dalam “status sengketa” dan sebelumnya sudah terbit pembatalan sertifikat di lahan yang sama.

“Lahan yang tengah menjalani proses hukum sengketa itu tiba-tiba dikeluarkan lagi melalui sebuah surat dari kantor BPN Depok. Ini sangat aneh,” kata Bernard.

Atas keputusan BPN Depok itu, Bernard pun melayangkan gugatan ke PTUN Bandung. Isinya menggugat keputuan BPN Depok yang memberikan penguasaan lahan kembali terhadap PSG, seluas sekitar 50 hektar.

“Kami menggugat BPN Depok karena sertifikat yang dikeluarkan cacat secara administrasi. Kami mencurigai ada permainan atau dugaan mafia tanah dalam kasus ini,” kata Bernard.

Sebelumnya, Benard menceritakan bahwa kasus sengketa ini bermula saat Ida mencoba mengelola lahan yang ada di daerah Sawangan, Depok. Berbekal Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria (Sk-Kinag), Ida mendaftarkan ke BPN dan mendapat penetapan Pengadilan Negeri.

“Dari itu, Ibu Ida melakukan pembebasan sekaligus memberi kompensasi bagi penggarap, hingga akhirnya terbit SHM,” ujarnya.

Setelah SHM diproleh, mulai muncul permasalahan, karena pada lahan itu juga muncul sertifikat yang sama alias tumpang tindih atas nama PT PSG, yang dipecah menjadi sembilan.

Karena hal itu, sertifikat keduanya pun akhirnya dibatalkan melalui SK Kanwil BPN di tahun 2017 lalu.

“Sejak saat itu, terjadilah sengketa kepemilikan lahan yang luasnya sekitar 90 hektar,” ungkapnya.

Di tahun yang sama itu, sertifikat dibatalkan. Namun beberapa tahun kemudian, terbit lagi sertifikat yang dikeluarkan BPN Depok di lahan sengketa yang kepemilikannya masih berstatus NO tadi.

“Padahal mengacu pada peraturan menteri negara agrari/ kepala BPN No. 3 tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pnerian hak atas tanah negara yang menyatakan, kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000 meter persegi. Dan ini di lahan seluas 90 hektar, surat itu bisa diterbitkan dari kabupaten atau kotamadya,” katanya.

Atas kasus tersebut, Benard berharap dugaan keterlibatan mafia tanah yang ada, bisa segera dibersihkan.

Kasus ini bermula saat tanah Ida Farida seluas kurang lebih 91 hektar diambil oleh PT Pakuan di dua desa, yaitu Desa Sawangan dan Desa Bojongsari, Depok, Jawa Barat. Secara yuridis terbukti bahwa Pemberian Hak Guna Bangunan Kepala PT Pakuan yang didasarkan pada Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan kota Depok vide bukti bukti T-9 HGB No. 00864/Sawangan Luas 503.340 M², bukti T-8 HGB No. 00863/Sawangan luas 3.875 M², dengan bukti T-2 HGB No. 00013/Bojongsari luas 217.760 M².

Ida Farida mengatakan, pemberian HGB itu mengandung cacat yuridis karena bertentangan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara khususnya Pasal 4.

Menurut Ida, pada tahun 1973 hingga tahun 1985, pihak PT Pakuan melakukan sewa pakai tanahnya untuk kepentingan bisnis, yaitu pembuatan lapangan golf.

Kemudian diperpanjang pada tahun 1985 hingga tahun 2005. Namun sebelum batas akhir sewa jatuh tempo, pemilik lahan memutuskan untuk tidak lagi menyewakan tanahnya kepada PT Pakuan.

Masalah itu pun muncul ketika dirinya memblokir sewa tanah pada tahun 2005, tapi ternyata justru diperpanjang selama 20 tahun ke depan tanpa sepengetahuannya. Dia juga heran, hak pakai yang dimiliki PT Pakuan bisa berubah menjadi HGB. Sebelumnya, PT Pakuan mengajukan permohonan HGB yang kemudian dikabulkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Depok, pada tahun 2005.

Belum ada penjelasan secara resmi daripihak BPN Kota Depok atas kasus tersebut. Kepala BPN Kota Depok Eri Julianti berkali-kali dihubungi untuk mengkonfirmasi berita ini, tidak memberikan jawaban. Pesan yang disampaikan melalui nomor WhatsApp-nya hanya dibaca, tapi tidak direspon. Begitu juga Kepala TU BPN Depok Yudhi Sugandi berkali-kali dihubungi melalui stafnya, selalu beralasan sedang rapat.

Meski lahan itu masih dalam status sengketa, tapi pihak PT Pakuan sudah memasarkan perumahan elit di kawasan itu.(red/gantra)

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *