by

Kisah Puji dan Agus, Suami Istri yang Bersama-sama Masuk Islam

DEPOKRAYANEWS.COM- Sebuah peristiwa dapat mengubah total jalan kehidupan seseorang. Begitu pula yang dialami Pujiati. Mualaf tersebut menceritakan kejadian yang membuatnya tertarik untuk berislam. Pada awal 2020, kabar duka menghampirinya.

Dari ujung telepon, wanita yang akrab disapa Puji itu menerima berita. Neneknya sedang sakit parah. Bersama dengan kedua orang tuanya, ia segera berangkat ke kediaman sang nenek dari garis ibunya itu.

Malang tak dapat ditolak. Neneknya dalam keadaan lemah sekali, terbaring di atas tempat tidur. Tanda-tanda sakaratul maut muncul.

Masih jelas dalam ingatan Puji. Pada saat momen yang mendebarkan itu, seorang ustadz membimbing neneknya untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Dai tersebut membisikkan berulang kali kata-kata yang terangkai dalam bahasa Arab itu.

Dari mulut sang nenek, terucap pelan kalimat yang persis sama. Beberapa saat kemudian, perempuan yang sudah lanjut usia itu menghembuskan nafas terakhir.

Melihat itu, hati Puji seketika terenyuh.Perasaannya tentu sedih karena ditinggal wafat sang nenek tercinta. Namun, entah mengapa pada saat yang sama dirinya juga lega. Barangkali, ia menduga, neneknya masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengucapkan kalimat yang mulia.

Bacaan tahlil memang terdengar tidak begitu asing bagi Puji. Sejak lahir, dirinya memang tumbuh di tengah keluarga inti yang non-Muslim.Ia pun mengikuti iman non-Islam, sebagaimana kepercayaan kedua orang tuanya.

Akan tetapi, dalam lingkup keluarga besar tidak semuanya non-Muslim. Contohnya adalah almarhumah neneknya. Wanita lansia itu beragama Islam sejak kecil hingga ajal menjemputnya.

“Kedua orang tua saya memang non-Muslim, tetapi nenek dari ibu saya adalah Muslim. Jadi, ketika beliau sakaratul maut, dibimbing oleh ustaz untuk mengucapkan kalimat tahlil,” ujar Puji kepada Harian Republika, baru-baru ini.

Setelah peristiwa tersebut, ia menjadi lebih peka pada hal-hal apa pun yang berkaitan dengan Islam. Misalnya, suara azan yang rutin berkumandang dari arah mushala lima kali sehari.

Perhatiannya mulai tertuju pada seruan itu, yang salah satu bagiannya sama seperti tahlil, kalimat yang diucapkan almarhumah neneknya sesaat sebelum wafat.

Wanita yang kini berusia 38 tahun itu akhirnya sering merenung. Apakah memang Islam adalah agama yang benar? Lebih dari itu, mengapa hatinya cenderung tenteram saat menyaksikan ibadah-ibadah Muslimin?

Pernah suatu hari, azan tersiar dari mushala dekat rumahnya. Panggilan sholat itu lantas disimak Puji sembari memejamkan kedua matanya.

Tanpa disadari, air matanya meleleh membasahi pipi. Hatinya terbawa suasana syahdu. Diakuinya, ada perasaan haru yang timbul dari dalam dadanya begitu mendengar muazin mengucapkan: Asyhaduan laa ilaaha illa Allah.

Tebersit muncul pemikiran bahwa Islam adalah agama yang benar-benar ingin diyakininya.Namun, gagasan itu tidak langsung diwujudkannya. Perlu berhari-hari sebelum akhirnya Puji berani mengambil langkah inisiatif. Ia pun menelepon seorang sahabatnya yang Muslim, Titin.

Wanita asal Blitar, Jawa Timur, itu mengungkapkan niatnya untuk lebih mengenal agama Islam. Titin kemudian memberikan beberapa saran. Dengan antusias, Puji kembali bertanya, apakah mungkin seorang yang belum berislam untuk mempelajari ibadah-ibadah agama ini?Ternyata, hal itu bukanlah sebuah persoalan.

Maka selama kira-kira satu bulan, Puji mempelajari sholat. Semua aspek ibadah itu ditelusurinya, mulai dari bacaan hingga gerakan sholat.Bahkan, ia juga membeli beberapa buku panduan shalat dan mukena.

Sebulan telah berlalu. Kepada sahabatnya itu, Puji mengaku telah bertekad untuk menjadi seorang Muslimah. Ia pun bertanya, apa saja langkah yang mesti ditempuh untuk seseorang menjadi pemeluk Islam.

Titin menjawab, pertama-tama seseorang mesti mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebab, itulah hal pertama dari lima Rukun Islam. Dalam melafalkan asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, orang itu tidak boleh terpaksa atau dengan niat main- main. Ucapan mulia itu haruslah berasal dari hati yang tulus ikhlas.

Puji kemudian menghubungi adik iparnya yang juga seorang mualaf. Ia berusaha untuk mencarikan seorang dai atau ustaz yang bisa membimbing nya bersyahadat.

“Adik ipar saya sempat khawatir jika membimbing langsung. Sebab, watak Mas Agus, suami saya, yang keras dan takut dianggap memengaruhi saya. Maka, dia hanya memberikan kontak nomor telepon,” tuturnya.

Saat dalam proses mengenal Islam, Puji sudah berumah tangga. Dirinya merupakan istri dari seorang yang, saat itu, beragama non-Islam.Tambahan pula, suaminya itu cenderung tegas dan keras dalam berprinsip. Karena itu, wanita tersebut berupaya mencari-cari celah untuk mewujudkan niatnya, yakni memeluk Islam.

Atas saran kawannya, Puji menghubungi seorang pengasuh lembaga Mualaf Center Aya Sofia Malang, yakni Ustaz Ipung Atria. Komunikasi dimulai pada Mei 2020. Awalnya, Puji mengira bahwa sang ustadz bertempat tinggal di Blitar. Ternyata, dai itu menetap di Kota Malang.

Ustadz Ipung memberi arahan agar sebelum bersyahadat Puji meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Bahkan, sang suami bisa diajak untuk ke masjid, menjadi saksi prosesi syahadat ini. Proses itu berlangsung satu bulan lamanya.

Lambat laun, Puji mulai berani terbuka menyatakan keinginannya berislam. Bahkan, ia tetap belajar shalat walaupun saat itu sang suami ada di rumah. Saat itu, terlihat wajahnya masam. “Jika tidak tahan melihat saya belajar sholat, suami pergi dari rumah. Selama satu bulan hal itu terus berlangsung,” katanya.

Usaha Puji membuahkan hasil. Akhirnya, sang suami bersedia diajak diskusi. Diam-diam, Puji juga berdoa agar hati suaminya dapat lebih me nerima. Sehingga, dirinya dibolehkan bersyahadat.

Tepat pada 3 Juni 2020, Puji begitu suka cita. Suaminya bersedia mengantarkannya ke Masjid at-Taqwa untuk bersyahadat. Di sana, perempuan itu dibimbing Ustaz Ipung dan pengurus Muhammadiyah Blitar Ustadz Sri Widodo. Mereka disaksikan sejumlah jamaah.

Setibanya di halaman masjid, suami Puji tak lantas ikut masuk ke dalam tempat ibadah itu. Sementara, waktu zuhur telah tiba. Suara adzan berkumandang dari arah masjid ini.

Secara tidak sengaja, Ustadz Ipung berpapas an dengan suami Puji. Dai itu lantas menya pa lelaki tersebut. Dari yang semula sekadar berbasa-basi, mubaligh itu terkejut. Sebab, pasangan dari mualaf yang baru saja berikrar syahadat itu ingin masuk Islam juga.

Mendengar itu, Puji pun terharu. Khawatir adanya paksaan, sebelum memulai prosesi syahadat, Ustadz Ipung bertanya kepada Agus tentang niatnya menjadi Muslim.

“Saat itu, suami saya beralasan. Pertama, melihat keteguhan saya yang tetap sholat meski suami menentang keras. Kedua, Mas Agus mengaku ingin tetap menjadi imam bagi saya.Menurutnya, hanya dengan menjadi seagama, kami tetap bertahan dalam bahtera rumah tangga,” jelas dia.

Setelah proses tanya-jawab tersebut, Agus pun berikrar, mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikianlah, pada hari yang sama, pasangan suami-istri itu serentak menjadi pemeluk aga ma Islam. Rasa haru membuncah dalam diri Puji. Bahkan, saat menuturkan kisah ini kepada Republika, kedua matanya berkaca- kaca, masih merasa terharu.

Setelah bersyahadat, tentu kedua anaknya yang lebih dahulu mengetahuinya. Mereka merasa sedih karena kini berbeda agama dengan kedua orang tuanya. Semula kedua anaknya tak terima. Namun, perlahan mereka menghormati keputusan ayah dan ibunya.

Meski kini kedua anak mereka masih menganut agama non-Islam, suasana di dalam rumah tetap harmonis. Dari materi adab dan akhlak yang dipelajari, Puji menerapkannya untuk anak-anak.

Anak-anak pun menerima aturan Islam karena memang baik untuk kehidupan mereka.Meski mereka tetap rutin beribadah setiap Minggu, anak pertamanya yang kini berusia 17 tahun saat ini sedang mengoleksi jilbab.

Dia pun lebih sering keluar rumah dengan pakaian longgar dan kerudung segi empat. Puji berharap kedua anaknya bisa segera mendapatkan hidayah dari Allah SWT.

Berbeda dengan anak-anaknya. Respons yang kurang menyenangkan ditunjukkan ibunya. Puji merasa, sang ibu kecewa akan pilihan dirinya.

Namun, lambat laun orang tuanya bisa menerima pilihan tersebut. Komunikasi dan silaturahim pun terus terjalin di antara keduanya. (Rol)

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *