by

Kondisi Rumah Cimanggis Depok Memprihatinkan

Rumah Cimanggis

Depokrayanews.com- Kota Depok, ternyata menyimpan banyak peninggalan bersejarah. Sekarang, beberapa di antaranya ditetapkan sebagai cagar budaya seperti Rumah Cimanggis.

Rumah Cimanggis ini disebut juga dengan Gedong Tinggi, bangunan ini berdiri di atas lahan RRI, Sukmajaya, Depok. Jika ditilik dari gaya bangunannya, Rumah Cimanggis ini mempunyai kekhasan dari perpaduan kebudayaan Eropa dan Hindi.

Pada awalnya, Rumah Cimanggis merupakan sebuah tempat peristirahatan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal VOC Joahannes Petrus Albertus van der Parra untuk istri keduanya, Johanna van der Parra pada 1775. Johanna merupakan putri dari petinggi VOC, David Johan Bake. Mantan Suami Johanna, Anthony Gulden Arm juga merupakan salah satu petinggi VOC.

Sekarang, kondisi dari Rumah Cimanggis ini memprihatinkan dan membutuhkan perhatian dari pemerintah. Salah satu pilihannya adalah revitalisasi. Ketika dilihat dari depan, gedung ini tampak terbengkalai. Semak dan rumput liar mengelilinginya menambah kesan “tak terurus” pada gedung ini.

Rumah Cimanggis mempunyai empat sekat ke arah belakang. Yang pertama merupakan teras atau selasar, tiang-tiang besar masih kokoh meskipun beberapa sudah rumpang. Jendela-jendela yang tak lagi sempurna tetap pada tempatnya, begitu pula pintu utama masih mengait pada engselnya.

Memasuki ke bagian dalam, terdapat bangunan tanpa atap dan kosong. Hanya dedaunan kering yang menutupi lantai, bahkan pohon sukun dan beringin yang rindang menumpang untuk tumbuh di bagian dalam gedung Rumah Cimanggis ini.

Memasuki bagian paling belakang gedung, kayu-kayu besar yang menyender pada dinding bangunan menjadi pemandangan. Kayu-kayu tersebut berfungsi untuk menopang bangunan agar tetap kokoh berdiri.

Sejarawan Betawi, JJ Rizal mengatakan, revitalisasi mempunyai arti yaitu menghidupkan kembali sesuatu yang sebelumnya tidak berdaya atau tidak dianggap penting menjadi kembali penting serta berdaya kekuatan.

“Sebab itu terkait revitalisasi Rumah Cimanggis harusnya adalah bagaimana material yang sudah ada mendapat perlindungan, agar tidak semakin rapuh atau malah rusak dan kehilangan kesempatan untuk diselamatkan sisanya yang kini ada atau bahkan dikonstruksi ulang melalui kerja bersama arsitek yang memang berpengalaman merevitalisasi bangunan bersejarah,” kata Rizal.

Namun, setelah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan Keputusan Wali Kota Nomor: 539/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018, Rumah Cimanggis ini menjadi tak tertentu arah dan diambang keruntuhan.

“Persoalannya adalah terkait rumah Cimanggis setelah ditetapkan menjadi cagar budaya tidak ada wacana akan dilakukan apa terhadapnya. Pemkot Depok setelah pasang plang lalu tidak buat apa-apa lagi. Yang muncul malah wacana bikin museum Nabi Muhammad di wilayah yang sama dengan situs sejarah Rumah Cimanggis,” kata dia.

Nasib dari Rumah Cimanggis pun seolah diombang-ambing tanpa keputusan telak. Selain itu, publik kesulitan mengakses tempat bersejarah Rumah Cimanggis ini karena di gerbang masuk terdapat tulisan “bukan jalan umum” yang seolah menjelaskan bahwa tempat tersebut tertutup untuk publik.

“Kejelasan nasib mau diapakan, bagaimana rencananya dan ungkapkan ke publik serta bolehkan publik menikmati cagar budaya itu agar dapat pula menyumbang ide pemikiran. Jangan hanya dianggap ini urusan pemkot dan publik tidak paham atau malah mengganggu,” kata Rizal.

Sebelumnya, JJ Rizal sempat mengatakan, sekitar 1730 Batavia kala itu Batavia terbilang tidak sehat karena banjir dan banyak wabah penyakit. Tak tanggung-tanggung, warganya dihantui oleh kematian dan sampai mendapat julukan kuburan orang-orang Belanda (Graf der Hollanders).

Karena hal tersebutlah, para pejabat kaya VOC membangun tempat singgah (land huizen) di selatan Batavia. Karena rumah tersebut dimiliki oleh pejabat-pejabat, maka kata kemewahan melekat pada bangunannya lengkap dengan kebun yang luas.

“Termasuk Julius Coyeet, anggota Raad van Indie, membangun rumah di Gunung Sahari pada 1736. Gubernur Jenderal van Imhoff memilih lebih ke selatan lagi. Van Imhoff membangun rumah di Bogor pada 1745. Sementara Gubernur Jenderal van der Parra, yang terkenal suka bermewah-mewah dan korup, turut membangun rumah peristirahatan di Cimanggis pada 1775,” ujar Rizal.

Adanya tempat peristirahatan yang dibangun para pejabat tersebut ternyata membuka lapangan kerja baru dan mendongkrak perekonomian warga sekitar. Pelayan, koki, pengasuh, sampai pengasuh rumah dibutuhkan. Bahkan, pasar dan perkebunan bermunculan berkaitan dengan adanya Jalan Raya Pos yang dibuat Daendels.

“Bukan hanya pencapaian arsitektur tropis Hindia dengan Eropa dari pertengahan abad ke-18, tetapi juga penanda pembukaan hutan sebagai jalur bagi kawasan kota baru di luar kota benteng Batavia yang kelak bukan hanya menjadi Kota Cimanggis, Depok, tetapi juga kota-kota lain di Jawa,” ujar Rizal.

Zaman terus berganti dan waktu seolah menelan rumah-rumah pejabat tersebut. Namun, ternyata salah satunya masih berdiri dengan tegak meskipun sekarang kondisinya memprihatinkan, yaitu Rumah Cimanggis.

Rumah Cimanggis ini dibangun oleh seorang arsitek bernama David J Smith sekitar 1775 sampai 1778 dengan sebutan Gedong Tinggi. Setelah Johanna meninggal pada 1787, Gedong Tinggi ini diberikan kepada sang arsitek, David J Smith.

Pada 1932, Rizal mengatakan Gedong Tinggi dan wilayah sekitarnya adalah milik de Meyer, saat revolusi rumah bersejarah ini dijadikan markas oleh tentara Belanda.

Kabarnya, Presiden Soekarno mengunjungi tempat ini pada 1950. Kemudian saat Indonesia berada di bawah pemerintahan Soeharto, pada 1967 Rumah Cimanggis ini dijadikan sebagai Kompleks RRI.

Penulis, Shafa Tasha Fadhila

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *