by

MEMAHAMI WALI ALLAH

Catatan Dindin Machfudz *)

BELAKANGAN ini isu atau topik tentang Wali Allah atau Waliyullah kembali mencuat berikut berbagai “Karomah” yang menyertainya. Sebagian orang awam menyebutnya “keajaibannya”. Sebagian lainnya menyebut “kesaktiannya”.

Padahal Kewalian atau “al-Walayah”, ungkap Prof Dr KH Asep Usman Ismail, Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Jakarta, dalam Kuliah Sabtu Subuh di Masjid Al-Muhajirin Mampang Depok, menggambarkan kedekatan. Khususnya kedekatan yang sangat dengan Allah Tabaraka wa Taala yang kemudian galib disebut “Waliyullah”.

Lebih jelas lagi kedekatan yang “ma’rifah kepada Allah, sehingga karenanya tidak sedikit pun terlintas dalam qalbunya seorang Waliyullah itu sesuatu selain Allah.

Ada pun Sufi masyhur kelahiran Mesir, Ibn Atha’ilah Al-Sakandari (1260-1350 M) mengungkapkan lebih rinci lagi.

Ia mengatakan, “Yang disebut Wali Allah adalah mereka yang berlari membawa kalbu dan tekad mereka dari dunia menuju tempat yang suci. Mereka duduk di atas hamparan karpet kesukacitaan jiwa (al-uns) , memakai takwa, menahan diri dari syahwat dunia, bersikap zuhud terhadap kenikmatan yang ada di dalamnya, menjauh dari keindahan lahiriahnya, setiap hari berpuasa dari yang haram, menghindar dari dosa, menjauhi perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi, merasa cukup dengan yang halal dan baik, menjaga diri dari yang makruh dan mubah, serta mengerjakan amal ketaatan kepada Allah dengan tekad tulus, hati nan bersih suci, dan niat yang ikhlas sehingga mereka pun bisa berdialog dengan Allah, berhadap-hadapan dengan Allah, duduk bersama-Nya, menyaksikan-Nya, serta merasakan kelembutan-Nya.”

Al-Sakandari kemudian mengutip ayat Allah : “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak pula bersedih. Yaitu, mereka yang beriman dan bertakwa.

Ada kabar gembira untuk mereka di dunia maupun di akhirat. Tak ada perubahan pada kalimat-kalimat (janji dan ketetapan) Allah. Yang demikian itulah kemenangan yang agung,” (QS Yunus/10 : 62-64).

Lantas, Guru Besar UIN Jakarta yang Disertasi doktoralnya membahas Kewalian ini menyimpulkan bahwa Wali Allah adalah orang yang dekat dengan Allah, Sahabat Allah, dan Kekasih Allah. Realitas mulia tersebut berlawanan dengan “Wali Setan”, yaitu orang yang dekat dengan setan, sahabat setan, dan kekasih setan.

Dengan demikian, kata Prof Asep, para Wali adalah orang-orang beriman yang telah berhasil menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus.

“Selain itu secara garis besar, Waliyullah terbagi dalam dua golongan, yaitu : Al-walayat al-ammah atau Kewalian Umum, dan al-walayat al-khassah atau Kewalian Khusus.

Yang dimaksud dengan Kewalian Umum mencakup semua orang yang beriman, beramal saleh, dan membenarkan para Rasul, demikian tutur Prof Asep mengutip pendapat Ulama besar Al-Hakim al-Trimidzi (209 – 279 H/701 M).

Sedangkan Kewalian Khusus mencakup ahbab Allah (para kekasih Allah) dan asfiya’ ( manusia pilihan Allah), yaitu mereka yang dipilih oleh Allah untuk diri-Nya dan Allah pun membimbing mereka dengan karunia-Nya agar mereka lebih dekat kepada Allah.

Subhanallah, Masha Allah, kita maunya yang ini sajalah, sebab kalau Kewalian Umum, jalannya panjang, berjenjang, dan berliku serta istiqomahnya selalu terjaga.

Tapi untuk terpilih sebagai Al-Walayat al-Khassah, ungkap Prof Asep, ada syaratnya dan hanya dapat diraih oleh seorang hamba bila di dalam dirinya terpadu dua aspek.

Apakah itu? Yaitu “karsa Allah kepada seorang hamba” dan “kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah”. Aspek pertama merupakan hak prerogatif Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dalam pengabdian kepada Allah.

Sungguh pun demikian, kata At-Tirmidzi mengingatkan kita semua, perkara Kewalian sesungguhnya atau hakikatnya adalah wilayah Allah dan Otoritas Allah semata, dan sama sekali bukan persoalan dan otoritas insaniyah.

Selain merujuk kepada al-Tirmidzi di atas, Prof Asep dalam paparan Disertasinya yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Apakah Ada Wali Itu?”, juga merujuk kepada Ulama Besar Ibnu Taymiyyah (661 – 728 H/ 1350 M).

Menurut Ulama Besar kelahiran pusat kota Filsafat Harran, Sabi’un, di utara Irak,
istilah al-walayah (dekat) merupakan lawan istilah al-‘adawah alias “permusuhan”. Ada pun sumber atau pangkal terjadinya al-walayah adalah al-mahabah (cinta) dan al-qurb (hubungan yang dekat), sedangkan yang menjadi pangkal terciptanya al-adawah adalah al-bughdhu (kebencian) dan al-bu’du (hubungan yang jauh).

Secara lugas, Ibnu Taymiyyah merumuskan bahwa Waliyullah adalah “Orang yang menepati dan mengikuti apa yang dicintai Allah, membenci apa yang dibenci dan dimurkai Allah”.

***
PENTING diketahui kemudian oleh para calon Wali adalah penjenjangan atau Maqamat Kewalian. Berbasiskan prinsip da’wat al-haqq wa ijabat al-‘abd alias respons seorang hamba terhadap seruan Allah tersebut, Al-Hakim al-Tirmidzi membagi maqamat dimaksud sbb :

1. Kewalian Tauhid (walayat al-tawhid),
2. Kewalian orang-orang yang benar (walayat al-sadiqin),
3. Kewalian puncak kesungguhan (walayat al-siddiqin) atau kehambaan sejati,
4.Kewalian orang-orang yang didekatkan Allah lantaran anugerah Allah (walayat al-muqarrabin),
5. Kewalian orang-orang yang meraih hubungan spesial dengan Allah (walayat al-munfaridin).

Hingga peringkat keempat, kewalian tersebut sudah sempurna; tetapi Allah mengangkat salah seorang hamba-Nya pada puncak Kewalian dan menempatkan nya pada posisi “bayn yadayhi” dihadapan-Nya. Dan karenanya para Wali Allah ini mempunyai “jalur komunikasi khusus” dengan Allah, meskipun posisinya tetap di bawah para Rasul dan Nabi.

Sebagaimana posisi Sahabat Nabi yang kemudian menjadi Khalifah Pengganti Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khathab ra yang oleh Nabi diberi gelar Al-Faruq atau Sang Pembeda , Usman bin Affan ra yang oleh Nabi diberi gelar Laki-laki dengan Dua Cahaya, Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah yang oleh Nabi digelari “Gerbangnya Ilmu Nabi”. Juga “si Pedang Allah” Khalid bin Walid si Panglima Islam yang super jenius. Tentunya masih banyak Sahabat Rasulullah lainnya yang meraih Kewalian.

Lebih jauh, Prof Asep mengingatkan kita semua bahwa ada dua cara untuk meraih Al-Walayah Khassah ini. Cara pertama disebut “tariq al-sidq” atau jalan perjuangan yang benar. Sedangkan cara kedua disebut “tariq al-minnah” atau jalan anugerah Allah. Cara pertama, seorang hamba meraih derajat Kewalian berkat keikhlasan, kesungguhan, dan al-sidq (kejujuran). Cara kedua, seseorang meraih derajat Kewalian semata-mata karena “al-minnat al-ilahiyah” alias anugerah Tuhan semata.

Walhasil, jalan mana pun yang ditempuh, tokh, segala sesuatu yang diperintahkan Allah kudu dijalankan secara mutlak atau absolut. Dalam hal ini sebut saja perintah Allah menunaikan sholat. Karenanya, dapat disimpulkan secara shahih dan valid : jikalau tak menegakkan sholat, pastilah seseorang itu bukan Wali Allah.

Di Provinsi Banten, saat ini terdapat tiga Ulama Kharismatik yang dikenal sebagai Paku Banten, yaitu Abuya Muhtadi, Abuya Ahmad Syar’i dan Abuya Munfassir. Masing-masing dengan “Karomahnya”.

Karomah sendiri merupakan bentuk penghargaan atau pertolongan Allah untuk para Wali-Nya. Dalam hal ini Al-Hakim al-Tirmidzi membaginya dalam dua jenis, yaitu : Al-Karamat al-Hisiyyah dan al-Karamat al-Ma’nawiyyah. Kedua jenis “karamat awliyya” itu bertujuan untuk mengokohkan keberadaan para Wali di dalam maqam haqiqat al-ubudiyyah (posisi kehambaan yang hakiki).

Sementara menurut Ibnu Taymiyyah, karomah itu sama dengan mukjizat. Intinya, Karomah untuk Wali Allah, dan Mukjizat untuk Nabi. Keduanya untuk memperkokoh keyakinan, menanamkan sikap zuhud, dan menjauhi dorongan rendah. Kedua Ulama memandang sama bahwa “karamat al-awliya” sebagai sarana, dan bukan tujuan seorang hamba meraih posisi Kewalian.

Ada pula Habib yang bisa berada di dua tempat sekaligus. Diceritakan di saat bercengkrama dengan sekelompok tamunya, seorang Habib minta muridnya ambilkan sesuatu di kamarnya. Pas masuk ke dalam kamar, eh, sang murid melihat sosok sang Habib gurunya tadi sedang sholat. Begitu sang murid ke luar didapatinya pula sang Habib sedang asyik berbincang. Dikisahkan pula ada Kyai atau Ajengan yang sholat di sajadahnya di atas air.

Dikisahkan pula Wali Allah yang lain, yaitu Kyai Kholil Bangkalan Madura. Di saat sedang berbicara dengan santri-santrinya, sang Kyai melihat di luar sana ada seorang laki-laki tua yang terseok-seok berjalan menuju rumahnya. Lantas, Abah Kholil berkata : “Di luar sana ada seorang laki-laki tua menuju sini dengan susah-payah. Adakah di antara kalian yang mau membantu menggendongnya?”
Sesaat semua terdiam. Lantas, tiba-tiba salah satu santrinya berkata, “Siap, saya saja, Mbah.”

Tidak lama sang tamu tiba di depam Mbah Kholil. Lalu keduanya berpelukan. Masuk ke salah satu ruangan dan berbincang. Lantas pamitan. Mbah Yai Kholil lantas berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menggendong tamuku ini pulang?!”

Lagi-lagi murid yang tadi menggendong tamu tua renta itu yang segera menyahut. “Saya saja, Mbah …”

Lantas, kedua orang itu pun menghilang pergi di bawah terangnya matahari petang. Tiba-tiba saja Mbah Kholil berkata nyaring. Begini : “Saksikan oleh kalian semua bahwa pada hari ini semua ilmuku telah diwarisi oleh santri teman kalian yang gendong pak Tua tadi. Kelak dia akan memimpin umat yang besar. Dan pak tua tadi, untuk kalian ketahui, tiada lain adalah Nabi Khidir As.

Terhadap Karomah tadi, pembaca boleh percaya, juga boleh tidak percaya. Tapi yang menggembirakan adalah bilamana di antara para pembaca ada yang bercita-cita menjadi hamba calon Waliyullah di muka bumi.

Paling tidak, jadilah khalifah mulia untuk keluarga masing-masing. Jangan pula meniru Syaikh Barsisho yang murtad dan memilih menjadi hamba iblis jelang digantung di era Nabi Musa As dan Syaikh Bal’am yang hendak mencelakai Kekasih Allah Nabi Musa As atas orderan rezim penguasa di Madyan sehingga seluruh karomah dan ilmunya kontan dilucuti Allah Swt.

Jangan pula menjadi Fir’aun, Hamman, atau Qorun yang bertindak sebagai bendahara kerajaan atau oligarki/taipan, tim penyihir alias juru bisik, serta kelas menengah yang selalu mengaminkan penguasa atau sosok Samiri yang pragmatis dan nekad berkhianat kepada Nabi Musa As dengan membawa sebagian umatnya kembali menyembah berhala. **

Dindin Machfudz
Jurnalis Senior/Wakil Pemred Majalah Eksekutif, 1990

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *