by

Pelatih Olimpiade Matematika: Mengajar Itu Ibarat Teko dan Cangkir

Motivator muslim, yang juga pelatih olimpiade matematika, Ridwan Hasan Saputra
Motivator muslim, yang juga pelatih olimpiade matematika, Ridwan Hasan Saputra

Depokrayanews.com- Saya adalah Presiden Direktur Klinik Pendidikan MIPA (KPM) dan  pelatih Olimpiade Matematika Internasional Tingkat SD dan SMP di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Saya sudah melatih Olimpiade Matematika di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih dari 10 tahun tepatnya sejak tahun 2003.

Saat itu Indonesia baru pertama kali mengikuti lomba Internasional untuk tingkat Sekolah Dasar.

Sudah 1.000 lebih siswa-siswa pintar di Indonesia saya latih dan saya dampingi ketika mereka lomba matematika ke luar negeri.

Sudah ratusan medali di bidang olimpiade matematika yang dihasilkan anak-anak Indonesia selama saya mendampingi di lomba Internasional baik tingkat SD, SMP atau SMA.

Banyak di antara anak-anak tersebut sekarang sudah kuliah di perguruan tinggi top, baik di dalam maupun di luar negeri. Anak-anak ini saya rasa akan menjadi pemimpin Indonesia di masa depan.

Sebelum saya menjadi pelatih Olimpiade Matematika Internasional, saya adalah seorang guru honorer di sekolah, guru bimbel dan guru privat yang biasa mendatangi dari pintu ke pintu rumah murid-murid saya.

Sebelum saya menjadi guru honorer, saya adalah orang yang tidak suka mengajar matematika. Kenapa akhirnya  saya menjadi pengajar matematika? Hal ini karena kondisi ekonomi yang membuat saya menjadi pengajar. Kondisi pada saat saya lulus kuliah di tahun 1998, Indonesia sedang mengalami krisis moneter. Sehingga mencari pekerjaan sangatlah sulit. Akhirnya saya terdampar menjadi guru fisika sebelum menjadi guru matematika di sebuah SMA Negeri di Bogor.

Pada saat menjadi guru, saya bukanlah guru yang bagus dalam mengajar. Hanya saya adalah guru yang mempunyai hubungan baik dengan para siswa. Sehingga saya menjadi guru yang dekat dengan siswa. Akhirnya saya menjadi guru yang disenangi siswa, bukan karena mengajar saya yang bagus, tetapi karena saya akrab dengan para siswa.

Guru itu ibarat teko dan murid ibarat cangkir. Agar air dari teko tidak tumpah, maka teko harus dekat dengan cangkir. Tidak jarang guru yang ilmunya banyak, tetapi ilmunya sulit diterima oleh para murid.  

Hal ini karena teko dengan cangkir posisinya jauh,  baik dari segi jarak maupun tinggi. Sehingga air yang keluar dari teko tidak sampai ke cangkir atau kalaupun sampai hanya sedikit.

Contoh jika seorang profesor mengajar anak SD dan materi yang diajarkan materi SD tetapi gaya bahasanya seperti mengajar anak kuliahan dan logika yang dipakai seperti menghadapi mahasiswa S3 maka hampir dipastikan anak-anak SD tersebut tidak memahami apa yang diajarkan oleh sang profesor tersebut.

Hal ini pun terjadi kepada orang tua yang sedang mengajar anaknya tentang suatu ilmu, khususnya ilmu matematika. Banyak anak tidak suka matematika karena mendapatkan kesan buruk tentang matematika dari orang tuanya sendiri, biasanya hal ini terjadi ketika anak tersebut masih kecil.

Orang tua ketika mengajar matematika anaknya, biasanya dilandasi oleh keinginan agar anaknya hebat, pintar, juara kelas, berprestasi dll.

Harapan besar yang ada di dalam benak orang tua tersebut, membuat adanya jarak antara anak dan orang tua atau ada jarak antara “teko dengan cangkir”. Jarak tersebut disebabkan adanya target terlalu tinggi sehingga akan ada tekanan dalam mengajar, sementara anak ingin belajar dalam suasana yang nyaman.

Akibatnya hampir dipastikan hasil dari proses belajar itu bukannya anak semakin paham matematika, tetapi hasilnya anak menangis karena dimarahi orang tuanya selama belajar matematika. Hasil dari pengajaran seperti itu adalah ANAK BENCI MATEMATIKA.

Waktu saya belajar di SMA, Saya mengenal guru matematika yang hebat  yang memperoleh banyak penghargaan di bidang matematika. Guru tersebut merupakan guru matematika  yang sangat berkesan bagi saya sampai sekarang. Beliau mengajarkan matematika melalui pendekatan Penyetaraan Ego Sosial, dimana beliau mengajari murid-muridnya sebagaimana seorang teman, dengan komunikasi bahasa Indonesia yang dicampur dengan  bahasa Sunda yang halus, memudahkan kita memahami materi matematika yang diajarkan beliau.

Ketika saya sudah mulai menekuni Olimpiade matematika di SMA  dan beliau sudah tidak membidangi hal tersebut. Saya diminta belajar mandiri dengan mempelajari buku yang direferensikan beliau dan belajar kepada orang lain yang lebih mahir dalam bidang olimpiade matematika salah satunya adalah guru beliau sendiri yaitu Prof Andi Hakim Nasoetion.

Saya belajar secara informal dengan pakar Matematika dari Institut Pertanian Bogor ini, karena saya sama sekali tidak mengambil mata kuliah yang diampu oleh sang Profesor. Setelah interaksi dengan Profesor di bidang Statistik inilah saya jadi menggemari Olimpiade Matematika.

Hikmah dari cerita di atas adalah Guru Matematika hebat pun akan ada batas kemampuannya sehingga harus menyerahkan muridnya untuk diajarin orang lain. Apalagi orang tua siswa yang tidak membidangi matematika.

Orang tua akan menjadi guru yang berkesan bagi anaknya ketika mengajarkan dengan cara Menyetarakan Ego Sosial terlebih dahulu. Bentuknya adalah ketika mengajarkan matematika ke anak sendiri, orang tua harus menganggap dirinya teman bermain  anaknya.

Ketinggian ilmu yang diajarkan orang tua tidaklah penting. Jika orang tua hanya bisa mengajarkan matematika dalam bentuk mengajarkan anak menyebutkan angka dari 1 sampai 10 dengan baik dan benar. Maka orang tua tersebut sudah menjadi guru matematika bagi anaknya. (red)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *