by

Perjuangan 35 Hari Sembuh dari Covid-19

Oleh: Fendri Jaswir

Seperti biasa, saya mematikan handphone (HP) android ketika men-charge baterainya. Pagi menjelang siang itu, hal yang sama saya lakukan.

Biasanya, mengisi baterai ini saya lakukan tengah malam. Tapi, malam itu saya lupa karena kecepatan tidur.

Padahal, Selasa, 12 Januari 2021, itu saya harus menerima informasi penting tentang hasil tes swab PCR (polymerase chain reaction, pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis penyakit Covid-19) saya dua hari sebelumnya.

Biasanya, hasil swab itu masuk agak sore. Makanya, saya beranikan men-charge HP dalam kondisi dimatikan.

Tapi, tiba-tiba istri saya berteriak dari ruang tengah.

”Pa, lihat itu WA (WhatsApp) dari Nemi, di grup famili,” pekiknya. Nemi panggilan untuk dokter Elmi, kakak ipar saya, yang dinas di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

”Masalah apa?, ” tanya saya.

”Lihatlah,” ujarnya. ”Kayaknya, hasil swab papa negatif,” timpalnya.

Dia tak berani melihat WA. Lalu, saya ambil HP-nya, dan saya buka. Dan benar, hasil swab PCR saya sudah negatif.

”Alhamdulillah, wasyukurillah,” saya mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT.

Istri saya langsung meloncat kegirangan. Dia peluk diri saya, dan minta didukung (digendong-red). Lalu, memekik memanggil anak bungsu saya yang berada di kamar.

Saya dukung istri menjumpai anak bujang. ”Papa udah negatif dek, Alhamdulillah,” kata saya.

Kami berpelukan, bertiga anak beranak.

Tanpa disadari, istri saya sudah mencucurkan air mata. Menangis. Air mata bahagia. Suaminya sudah sembuh dari sakit akibat terpapar Covid-19 (coronavirus disease 2019), setelah menjalani isolasi mandiri selama 35 hari.

”Udah, mari kita sujud syukur, ” kata saya.

Saya langsung mengambil wudu, dan melaksanakan sujud syukur sebagaimana yang disunahkan.

Tiga puluh lima hari, bukanlah waktu yang pendek bagi saya untuk bisa melepaskan diri dari Covid-19.

Banyak suka dan dukanya. Walaupun tidak dirawat di rumah sakit, namun upaya penyembuhan penuh perjuangan dan kesabaran. Begitu pula tekanan mental dan pengorbanan lahir bathin yang dialami istri saya.

Saya dan istri tidak ada kontak fisik selama 44 hari, sejak saya berangkat ke Makassar, Sulawesi Selatan, pada 30 November 2020. Saya ke Makassar untuk kunjungan kerja Dewan Pendidikan Provinsi Riau.

Pulang dari Makassar, saya singgah di Jakarta. Mau jumpa kenalan, sahabat, dan anak gadis saya yang baru beberapa bulan kerja di Jakarta.

Jumat, 4 Desember 2020, saya salat Jumat ke masjid dekat penginapan. Mau balik, hari hujan lebat. Karena agak lama, saya coba tempuh dengan menutup kepala pakai sajadah.

Tapi malamnya, saya demam. Badan menggigil. Saya minum panadol dan vitamin C. Keringat ke luar, dan paginya agak mending.

Siangnya, saya dan anak gadis saya yang menginap di tempat saya, janjian makan dengan keponakan saya yang dokter di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Kami tetap jaga protokol kesehatan, tidak bersalaman dan pakai masker.

Melihat saya kurang sehat, keponakan saya membelikan obat lengkap. Setelah diminum, kondisi saya makin baik.

Besoknya saya pulang ke Pekanbaru. Seperti sudah ada firasat, saya sudah mengantisipasi agar tidak kontak dengan keluarga. Pulang ke rumah saya naik taksi, tidak dijemput istri seperti biasanya.

Sampai di rumah, semua pakaian kotor masuk ke mesin cuci, disiram air dan deterjen. Lalu, saya pergi mandi. Sementara istri saya, sibuk menyemprot semua barang-barang saya dengan hand sanitizer.

Saya langsung isolasi di kamar. Istri saya, pindah ke kamar anak. Besoknya, saya swab PCR. Hasilnya, positif Covid-19!

Saya sudah siap mental. Istri saya yang kelihatan shock. Namun, saya yakinkan bahwa kondisi saya tidak apa-apa. Tidak ada gejala sesak nafas, hilang penciuman atau rasa. Hanya batuk sedikit, dan kerongkongan agak sulit menelan makanan.

Saya telepon Kepala Dinas Kesehatan Riau, Mimi Nazir. Saya minta diisolasi di asrama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Riau di Jalan Ronggowarsito, salah satu dari tiga tempat yang disediakan Pemerintah Provinsi Riau selain Bapelkes Panam dan LPMP Kulim.

Saya tahu tempat isolasi yang disediakan pemerintah ini lebih aman, nyaman, dan menyenangkan. Yang pasti untuk menghindari penularan Covid-19 kepada keluarga.

Malam itu juga, saya masuk isolasi. Istri saya tampak berat melepas keberangkatan saya. Saya tak tahu persis apa yang terlintas di benaknya.

Tapi, saya yakin berbagai hal membayangi pikirannya. Apakah saya ini akan sehat-sehat saja, atau bahkan hal terburuk akan terjadi. Sebab, banyak bukti yang telah terjadi, pasien Covid-19 tidak tertolong nyawanya.

Namun, saya berusaha menghibur keluarga. Sampai di tempat isolasi, saya kirim foto di kamar. Saya ceritakan tempatnya bagus, kamar pakai AC, bersih, air cukup.

Semua kebutuhan dikasih mulai alas kasur dan bantal baru, dan peralatan mandi seperti handuk, sabun cair, shampoo, sikat gigi, odol, deterjen cuci, pembersih lantai, dan kain lap. Untung saya bawa sajadah dan Al-Qur’an, karena keduanya tidak disediakan.

Walaupun demikian, sebenarnya pikiran saya masih galau. Begitu pula pikiran istri saya. Sebab, tiga orang di rumah yakni istri, anak laki-laki, dan mertua saya harus di-swab. Demikian pula dengan anak gadis saya di Jakarta yang sempat tidur dua malam dengan saya.

Tapi, syukur, hasil swab istri, anak laki-laki, dan mertua saya negatif. Namun, hasil swab anak gadis saya yang di Jakarta positif.

Hasil tersebut membuat kami agak panik. Sebab, anak gadis saya baru beberapa bulan di Jakarta. Namun, kakak sepupunya yang dekat kos, cukup membantu.

Walaupun sempat juga demam, namun kondisi anak gadis saya tidak terlalu berat. Cukup isolasi mandiri. Tapi, tempat isolasi di daerah Depok penuh. Alhasil, atas saran keponakan saya, anak gadis saya dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.

Waktu masuk RSPAD, anak gadis saya sempat stres. Maklum dia harus masuk UGD. Di sana penuh dengan pasien.

”Sereemm, ” katanya melalui WA.

Namun, kami berusaha menenangkan. Kondisi itu tidak lama menjelang dibawa ke ruang rawat inap. Lalu, pukul 21.00 WIB, anak saya tertidur. Menurut keponakan saya, anak gadis saya baru dipindahkan beberapa saat menjelang pukul 00.00 ke ruang rawat inap.

Bangun pagi, anak gadis saya mulai senang. Apalagi, seorang ibu yang juga pasien Covid-19 di sebelahnya, mengajak cerita dan memberikan semangat.

Hari-hari perawatan dilaluinya dengan semangat. Kami memberikan sokongan agar dia banyak makan, minum obat, dan vitamin, sehingga cepat sembuh. Alhamdulillah, lima hari dirawat di RSPAD, hasil swab-nya sudah negatif. Kami senang dan bersyukur.

Beda dengan saya yang harus berjuang melawan virus Covid-19. Sebab, hasil tes swab PCR Nasofering dan Orofaring atau tes pendeteksi virus Covid-19 saya, menunjukkan hasil CT (Cycle Threshold) Value yang masih rendah. CT Value RNA Gen N 21,3; RNA Gen S 22,2; dan RNA ORF1ab 20,9.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), jika CT Value di bawah 25, 26, 27, berarti tingkat penularan virus dan menginfeksi yang lain lebih tinggi. Karena itu, diperlukan isolasi dan pengobatan.

Peralatan tes PCR di Indonesia, memberikan ambang batas (cut off) CT Value pada nilai 40. Kalau CT Value di atas 40, hasil swab-nya negatif dan dinyatakan sudah sembuh. Tapi jika di bawah 40, hasil swab-nya positif. Dan, dinyatakan belum sembuh.

Namun, dengan CT Value 35, virus Covid-19 sebenarnya sudah mati dan tidak menginfeksi lagi. Kalau CT Value 28 sampai 35, virusnya boleh dikatakan sudah lemah.

Makanya, pihak rumah sakit sudah memulangkan pasiennya jika CT Value-nya sudah 35, walaupun masih positif. Namun untuk isolasi mandiri, berdasarkan kajian ilmiah dan Permenkes, diberikan waktu 14 hari.

Dengan isolasi selama 14 hari dibarengi dengan asupan makan cukup dan bergizi, vitamin C, vitamin D dan zinc, serta obat-obatan antibiotik dan anti virus, olahraga dan berjemur, diyakini CT value-nya sudah naik dan posisi aman. Karena itu, ada Puskesmas mengeluarkan surat yang menyatakan penderita tersebut sudah sembuh.

Padahal, kalau dilakukan tes swab PCR belum tentu hasilnya negatif. Dalam kasus saya, misalnya, setelah isolasi di BPSDM Riau selama 14 hari dan dibolehkan pulang, pada hari ke-17 saya melakukan swab PCR.

Hasilnya, ternyata masih positif. CV Value Gen N naik jadi 29,5; Gen S tidak terdeteksi, dan OFR1ab naik jadi 32,1. Ini berarti sudah bagus dan virusnya sudah lemah, namun masih harus isolasi.

Saya melakukan isolasi mandiri secara ketat di rumah. Semua aktivitas di dalam kamar. Kamar mandi juga ada di kamar.

Istri saya mengantar makanan, minuman, dan segala kebutuhan di depan pintu kamar, dan diletakkan di atas kursi. Saya mengambilnya setelah istri saya beranjak agak jauh. Kami tetap memakai masker.

Piring makan, sendok, dan mangkok, tak boleh berganti-ganti. Jadi, setiap mau makan, saya letakkan piring dan mangkok di depan pintu. Lalu istri saya mengisinya. Usai makan, piring, sendok, mangkok, gelas, dan lainnya saya cuci sendiri. Jadi, tetap steril tanpa bercampur dengan yang lain.

Aktivitas saya sama dengan di tempat isolasi BPSDM Riau. Bangun salat subuh, saya baca Al-Qur’an. Setelah itu, minum susu dan makan kue. Minuman buat sendiri dengan air panas dari termos.

Sekitar pukul 07.00 pagi, saya ke luar rumah untuk olahraga dan senam. Sampai pukul 08.00. Setelah itu saya sarapan, minum obat dan vitamin. Selanjutnya, saya mandi sambil cuci pakaian, kemudian salat duha.

Kemudian, saya berjemur antara pukul 09.00 WIB sampai pukul 10.00 atau 11.00. Setelah itu, istirahat menjelang zuhur.

Usai salat dan makan siang, istirahat lagi. Waktu istirahat ini saya isi dengan membaca dan membalas WA, mendengarkan lagu-lagu dari YouTube, dan bercerita atau bercengkrama dengan istri dengan jarak agak jauh.

Habis salat asar, saya kembali olahraga dan senam ringan. Lalu, menyiram bunga-bunga yang ada di pot dan taman. Juga membersihkan halaman. Sampai menjelang magrib.

Kemudian, mandi dan salat magrib. Setelah salat, baca Al-Qur’an. Selanjutnya, makan malam serta minum obat dan vitamin.

Tak lama setelah salat isya, saya istirahat dan tidur. Sebelumnya gosok gigi, kumur-kumur pakai betadine dan menyemprot hidung pakai spray.

Aksi bersih-bersih mulut dan hidung ini dilakukan minimal tiga kali sehari. Tujuannya, agar virus yang ada di mulut, kerongkongan, dan hidung, bisa mati dan ke luar.

Paginya, kadangkala saya terbangun sebelum subuh sehingga saya sempat salat tahajud. Tapi, seringkali bangun di waktu subuh. Setelah salat, seperti biasa saya baca Alquran.

Begitulah, kegiatan rutin saya selama isolasi di rumah. Sehingga tidak terasa bosan atau menjemukan.

Dua minggu isolasi di rumah, saya melakukan swab PCR lagi. Harapan saya, tentu hasilnya sudah negatif. Sebab, sudah empat minggu menjalani isolasi mandiri.

Kebanyakan penderita Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri, sembuh setelah isolasi selama empat minggu. Termasuk, Gubernur DKI Anies Baswedan.

Tapi, ternyata yang saya alami berbeda. Hasil swab PCR saya masih positif. Padahal, saya dan keluarga sudah siap-siap untuk berangkat ke Bukittinggi menghadiri pesta perkawinan keponakan saya.

Istri saya terkejut dan terlihat trenyuh. Dia tampak tak bersemangat.

Namun, saya berusaha memberikan pengertian. ”Kita harus sabar dan tetap bersemangat,” ujar saya sambil terus berolahraga sore.

Kakak ipar saya yang dokter anak di RSUD Arifin Ahmad memberikan motivasi. Katanya, seorang temannya yang terpapar Covid-19 malahan sampai 44 hari isolasi mandiri. Padahal, makannya sudah enak, berat badannya sudah tambah tiga kilogram, dan sudah merasa sehat. Begitu juga ada seorang dokter yang isolasi sampai 35 hari.

Informasi itu membuat saya makin bersemangat untuk sembuh. Apalagi, hasil swab saya sudah sangat menggembirakan meski masih positif. CT value-nya sudah 39 dan 38. Sedikit lagi menjelang cut off 40.

Dengan hasil ini, virusnya sudah mati. Beraktivitas ke luar sudah boleh, asal tetap menjalankan protokol kesehatan yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak minimal 1,5 meter.

Namun, saya memilih melanjutkan isolasi selama seminggu lagi, biar hasilnya negatif, sehingga kita aman untuk beraktivitas.

Saya push vitamin D dan zinc, di samping vitamin C, agar cepat pulih. Saya minum juga obat Cina Lian Hua. Herbal Quth Al Hindi yang berasal dari kayu India, saya hentikan karena menimbulkan alergi, merah, dan gatal-gatal.

Setelah minggu kelima, saya melakukan swab PCR lagi. Dan hasilnya, alhamdulillah, negatif.

Dengan demikian, 35 hari sudah saya menjalani isolasi mandiri. Dengan segala suka dan duka. Sempat tiga kali naik asam lambung karena pengaruh pemikiran. Akibatnya, makan perlu diatur.

Padahal, seorang penderita Covid-19 harus banyak makan, pemikiran positif, gembira, dan semangat, agar imunnya cepat naik.

Sebagai penyintas Covid-19, saya banyak dimintai masukan oleh teman-teman yang terpapar virus ini. Berbagi pengalaman.

Bahkan, teman akrab saya di Jombang, Jawa Timur, yang terkena Covid-19, tiap pagi menghubungi saya. Menanyakan soal obat, menceritakan perkembangannya, sampai mengajak cerita senda gurau.

Bagi yang baru terpapar dengan gejala ringan dan mau melakukan isolasi mandiri, saya suruh beli obat-obatan ini sesuai rekomendasi dokter.

Yaitu, Azitromicin 1x500mg (7 hari), Seloxy 2×1 tablet (14 hari), Vitamin C 2×1 tablet (14 hari), Vitamin D 1x1000iu (14 hari), dan Oseltamivir 2x75mg (7 hari). Yang terakhir ini, bukan obat yang dijual bebas. Kemudian, Betadine gargle (kumur-kumur 3x/hari) dan Nasal spray (semprot hidung 3x/hari).

Yang paling penting adalah mereka harus memaksakan makan bergizi. Sebab, umumnya pasien Covid-19 sulit makan karena kerongkongan terasa panas dan pahit. Saya baru hari ke-9 bisa makan enak.

Selain itu ada juga yang sulit makan karena semua yang dimakan terasa asin. Banyak juga yang kehilangan indra penciuman dan rasa. Ini salah satu gejala orang positif Covid-19.

Untuk mempercepat penyembuhan, banyak juga disarankan meminum minyak kayu putih dengan memasukan pakai tisu ke hidung. Meminum jahe merah dan madu, minum herbal Lian Hua dari Cina, herbal serbuk kayu India Quth Al Hindi, dan madu.

Pokoknya, banyak obat herbal yang laris manis pada saat Covid-19 ini. Terutama, yang dapat meningkatkan imun tubuh. Semuanya boleh diminum asal diselingi dengan obat dokter dan tidak menimbulkan efek lain di tubuh kita.

Dan jangan lupa salat, baca Al-Qur’an, zikir, dan berdoa kepada Allah SWT. Sebab, penyakit itu datang dari Allah, dan Allah juga yang dapat menyembuhkannya. Kita hanya bisa berusaha, berikhtiar, dan berdoa agar cepat sembuh. Selebihnya, kita serahkan kepada Allah SWT.

Lebih dari itu, tentu kita berharap tidak terpapar Covid-19. Vaksinasi merupakan salah satu ikhtiar untuk itu. ***

Sumber: riausatu.com.

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *