Oleh Dindin Machfudz*
Malam ini kita akan menutup tahun 2022. Tahun yang penuh dengan kejutan dan sekaligus pertanyaan, baik di tingkat global, regional maupun nasional.
Pertama, kenapa harus pecah perang Ukraina – Rusia yang imbasnya ke berbagai sektor kehidupan global, yaitu : sektor energi, finansial, ekspor – impor komoditas utama seperti gandum dan kedele, mesin perang, menajamnya polarisasi antara blok Barat dan Timur atau NATO versus Rusia -RRT, yang nyaris saja memantik meletusnya Perang Dunia III.
Bayangkan, seandainya saja agitasi dan provokasi slebor Presiden Ukraina Zalensky kepada Amerika Serikat cs berjalan mulus, menyusul upaya sang bekas komedian menjadikan perang tersebut sebagai “komoditas” dan “bargaining power-nya”, maka peradaban manusia akan kembali mengalami kehancuran. Bahkan kehancuran sempurna. Bakal terjadi upaya saling membinasakan secara masif dan dahsyat.
Kedua, Alhamdulillah PBB melalui sidang Majelis Umumnya mencanangkan gerakan Hari Internasional Memerangi Islamophobia per 15 Maret 2022 lalu. Phobia “bikinan” yang selama ini menista dan menstigma Islam sebagai musuh bersama, yang bersumber dari rasa kebencian, kedengkian, diskriminasi, keserakahan, egoisme, purbasangka dan pelanggaran HAM.
Ketiga, adanya gelaran Piala Dunia Sepak Bola di Qatar yang “serba super mewah” dan bernuansa Islami yang kental, sehingga para pencinta bola yang datang dari berbagai belahan dunia dengan suka cita dan selama berada di Qatar disambut dengan full keramahan serta pulangnya membawa serta nilai-nilai Islam yang “Rahmatan Lil-Alamin”.
Bahkan ribuan suporter dikabarkan menjadi “Mualaf”. Lalu, jubah hitam mewah yang disandangkan kepada Lionel Messi oleh Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani pada acara penutupan sudah ditawar 15,5 miliar rupiah. Dan seluruh laga pertandingan pun berjalan mulus. Ringkas kata, semuanya “full senyum” dan terkaget-kaget.
Hal ini sekali lagi menunjukkan pula bahwa ajaran dan peradaban Islam itu universal dan sangat fitrahi, yaitu cocok baik di negeri super kaya dan makmur seperti juga UEA dengan Dubainya, Arab Saudi, Kuwait, Brunei Darussalam maupun di negeri berkembang seperti Afghanistan dan Myanmar.
Bukan hanya itu, berdasarkan sejarahnya Islam juga dapat tumbuh dan moncer menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban. Sebut saja kehebatan Dinasti Abbasiah di bawah kepemimpinan Khalifah Ja’far Al-Mansur, Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M) yang sukses membangun Baghdad sebagai pusat ilmu dan peradaban dunia yang meliputi bidang kedokteran, filsafat, astronomi, matematika, kimia, geografi, historiografi, teologi, hukum, etika , sastra dan kesenian, senirupa, arsitektur, musik. Juga Mesir di era Abu Manshur Nizar Al-Aziz (975-996 M) yang sukses mendirikan Universitas al-Azhar, dan di negeri Andalusia (Spanyol dan Portugis) di era dinasti Umayah (711-1492) dalam filsafat dan tasawuf, bahasa dan sastra, musik, arsitektur.
Juga hebatnya Kesultanan Usmaniyah di Turki (1300-1922) yang juga moncer sebagai pusat ilmu dan peradaban terkhusus di bidang Kenegaraan dan Kemiliteran sehingga wilayah teritorialnya mencapai daratan Eropa di antaranya Yunani, Italia, Albania, Sirkasius,Slavia, Armenia. Bersamaan dengan itu muncul Kerajaan Islam Safawi di Persia (1501-1732) dan Kerajaan Moghul di India pada 1526-1857 (Philip K. Hitti, History of the Arab, 2006).
Di era abad pertengahan ini (abad ke-8 – 12), demikian para Sejarawan menyebutnya, muncul sederet nama beken ilmuwan Islam, sebut saja : Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Abdul Wafa, Fatima al-Fihri, Al-Jazari, Al-Farabi, Ar-Razi, Ibnu Al-Haitsam, Ibnu Khaldun, Jabir bin Hayyan, Al-Biruni dengan disiplin ilmu Kedokteran, Farmakologi, Kimia, Fisika, Botani, Geografi, Matematika, Astronomi, Sejarah, Sosiologi, Optik dan Mekanika, Geometri, Zoologi, Tata Kelola Negara, Leadership, Militer.
Khusus di bidang militer, reputasi pasukan Islam mampu “mengambarkan” pasukan adidaya imperium Romawi dan Persia serta menggilas Bizantium edisi pamungkas di Konstantinopel yang kini menjadi wilayah Turkiye. Di sini ada baiknya kita menyebut Sultan Muhammad Al-Fatih, Panglima Perang Turki Usmani yang gemilang yang membebaskan Konstantinopel dengan cerdas, jenius, berani, heroik, shalih, meski baru berusia 21 tahun.
Berikutnya Islam mengalami masa kemunduran, baik akibat faktor internal seperti terpecah-belah, rebutan kekuasaan antar penguasa/kerajaan, gaya hidup pragmatis dan hedonis alias gemar kemewahan pada sebagian rezim penguasanya, maupun faktor eksternal, yaitu : serbuan pasukan tartar atau barbar Mongol pimpinan Jenghis Khan ke kota Baghdad pada Februari 1258 M.
Kota Baghdad hancur total bagai tak pernah ada di muka bumi. Sebuah penghancuran peradaban manusia yang nyaris sempurna. Seluruh anggota Kesultanan Abbasiah, yaitu Khalifah Al-Mustasim dibantai, menyusul kemudian pembantaian seluruh penduduk kotanya tanpa ampun.
Buku-buku dan karya sarjana Islam di perpustakaan ambyar ludes dibakar. Dengan kebencian yang membara hingga taraf dewa, lalu tetinggalan ilmuwan beserta jenasah ilmuwannya dan Keluarga Sultan Abbasiah dilempar ke Sungai Tigris. Maka warna Sungai Tigris pun berubah warna menjadi merah darah dan hitam kelam.
Tapi aneh bin ajaib, berkat “kersaning Gusti Allah”, melalui perjalanan waktu dan proses interaksi sosial dengan masyarakat Muslim yang tersisa di berbagai wilayah kekuasaannya, keturunan Jenghis Khan kemudian memeluk Islam dan membangun Dinasti Islam tersohor, yaitu Dinasti Ilkhan dengan Panglima Perangnya yang gagah dan berani Ghazan Khan (1295-1304) dan Timur Lenk sebagai Raja Kekaisaran Mongol.
Kedua, serbuan pasukan Salib yang memporakporandakan kota-kota Islam di wilayah Timur Arab seperti Ar-Ruha, Antakya, Baitul Maqdis, dan Tripoli. Ahli Sejarah Barat menyebut serbuan dadakan pasukan Salib ke wilayah Islam pada tahun 1096 Masehi /491 Hijriah itu sebagai “Crusades” atau Perang Salib (Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Perang Salib, 2009, hal 11).
Dalam konteks inilah muncul Panglima Perang Muslim yang tangguh dan jenius, yaitu sebut saja Sultan Shalahudddin Al-Ayyubi, pada tahun 1137 – 1192 yang membebaskan kota Jerusalem, Palestina, dari kekuasaan Balian dari ibelin (Wikipedia) tanpa setetes darah pun atau gereja dan sinagog yang lecet. Sosok Shalahuddin atau Saladdin sangat masyhur baik di dunia Islam maupun Kristen lantaran kharismanya dan kebijaksanaannya serta kesatriaannya dan kepiawaiannya.
Seakan belum sempurna proses kemunduran Islam itu, lalu terjadilah penaklukan yang disertai pengusiran terhadap Sultan Abu Abdullah Muhammad dari Istana Al-Hamra di Granada Andalusia/ Spanyol, menyusul penandatanganan perjanjian tanda menyerahnya sang Sultan yang senang kemewahan dan lalai terhadap kesejahteraan rakyatnya sendiri, kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella pada 2 Januari 1492 (Pasukan Islam masuk Andalusia tahun 711 M).
Sekitar sejuta warga Muslim disiksa dan dibantai. Yang tersisa disuruh memilih menjadi murtad atau meninggalkan negeri. Sebuah tragedi kemanusiaan yang paling memilukan dan sangat tidak beradab tentunya. Hal ini mengingatkan pada peristiwa “dimutilasinya” mayat Pamanda Rasulullah Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar “Singa Padang Pasir” yang gugur ditombak Wahsyi di Perang Uhud tahun 625. Kala itu Rasulullah marah dan wajahnya merah padam, tapi beliau kemudian berkata : “Perbuatan aniaya, sungguh sebaiknyalah di hadapi dengan sabar,” (QS An-Nahl : 127, juga Ibn Hisyam, hal 584, Syed Ameer Ali, hal 185).
Ada pun tindakan menyerah sang Sultan merupakan perbuatan hina-dina yang tidak patut dan tidak pernah diajarkan kepada pasukan Islam semenjak Nabi Muhammad Saw memimpin pemerintahan di Madinah pada tahun 622 dan Perang Badar yang heroik tahun 624 Masehi. Sebabnya adalah dalam berperang buat pasukan Islam hanya ada satu pilihan : Menang atau Gugur. Jangankan menyerah, lah mundur dari medan perang saja terlarang sebagaimana penegasan Allah dalam QS Al-Anfal/8 : 16). Afwan, jika dalam tulisan ini kita menggunakan istilah “Peradaban Islam”, tiada lain disebabkan bahwa ajaran dan nilai-nilai Islam itu mencakup secara integral semua yang dimiliki manusia, yaitu meliputi pemikiran/ ide, tindakan dan moral dalam kehidupan mereka baik secara personal, keluarga, sosial, ekonomi maupun politik, demikian menurut pemikir Islam Abul a’la Al-Maududi. Dalam bahasa Arab, peradaban adalah “Al-Hadlarah al-Islamiah”, sementara kebudayaan adalah “al-Tsaqafah”.
Tidak lama setelah peristiwa Granada itu muncul penjajahan oleh bangsa Eropa. Mula-mula oleh bangsa Spanyol dan Portugal. Menurut Prof Ahmad Mansur Suryanegara, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, penjajahan baru di dunia itu hanya berdasarkan Perjanjian Tordesilas 7 Juni 1494 antara Kerajaan Katolik Spanyol dan Kerajaan Katolik Portugis di bawah kepemimpinan Paus Alexander VI selaku pemrakarsa.
Paus memberikan kewenangan kepada Spanyol untuk menguasai belahan dunia bagian Barat dan kepada Portugis untuk menguasai dunia wilayah Timur (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid 1, 2015, hal 158-159). Entah dari mana otoritas semacam itu diperolehnya, tapi de facto kedua negara bekas teritorial Islam Andalusia itu pun langsung saja merambah dunia dengan motif monopoli rempah-rempah serta menguasai sumber daya alam dan menjadikan penduduknya sebagai “budak jajahan” dengan status nista secara sosial kemanusiaan. Sementara Islam membasmi praktik perbudakan ini sejak tahun 610 Masehi.
Lalu tradisi kolonialis itu merembet ke negara-negara Eropa lain semisal Prancis, Inggris dan Belanda atau Holand dengan penduduk saat itu hanya 7 jutaan, tapi mampu menjajah “Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi” kita yang kala itu bernama Kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil (Maaf pisan istilah Nusantara, Hindia Belanda dan NKRI belum ada waktu itu) selama 350 tahun semenjak kehadiran VOC tahun 1601. Diikuti kemudian oleh Amerika Serikat yang super agresif, super power dan super ganas dengan syahwat perangnya yang membara sebagai “Polisi Dunia”, Pelopor HAM dan Demokrasi.
Selang beberapa waktu kemudian negeri itu mendirikan pusat-pusat studi dan kajian tentang Islam di beberapa universitasnya menyusul hadirnya Universitas Al-Azhar Kairo di Mesir enam abad sebelumnya tahun 970 M. Termasuk mendirikan Harvard University pada tahun 1636 di Cambridge, Massachusetts.
Nah, di universitas paling bergengsi inilah terdapat kutipan ayat Allah dalam Al-Qur’an tentang hukum dan keadilan. Tepatnya di dinding gerbang Fakultas Hukumnya. Di sana tertulis Qur’an Surah An-Nisa/4 ayat 135 :
“Wahai orang – orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Mengetahui terhadap segala apa yang kerjakan.”
Selain itu, yang tak kalah menarik adalah tindakan Joe Biden, Presiden Amerika Serikat kini, kala berpidato sebagai Capres, yang juga mengutip ayat Allah tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang termaktub dalam QS Ali Imran/3 : 104 : “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Realitas tersebut, siap – tidak siap, suka – tidak suka, menunjukkan pula pengakuan bahwa ajaran Islam itu otentik, final, abadi, al-Haq alias benar dari Allah Swt untuk manusia dan peradabannya dalam “ngelalakon” di bumi yang fana ini. Intinya : Islam adalah agama Cahaya. Dan Allah menegaskan dalam QS Al-Maidah/5 ayat 3 : “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridoi Islam sebagai agamamu.” Lalu untuk apa Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa? Allah menjawab dengan lugas dalam QS Al-Hujurat/49 Ayat 13 : “ … Agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”.
***
Selanjutnya di tingkat regional Asia, kita menyaksikan sebuah kejutan siginifikan atas terpilihnya Anwar Ibrahim sebagai Perdana Menteri Malaysia setelah perjuangan panjangnya yang pahit – getir selama belasan tahun sebagai pemimpin oposisi, termasuk keluar – masuk penjara dengan berbagai fitnah dan tudingan jahat seperti tudingan korupsi dan homoseksual. Karenanya kita mengucapkan : Turut Berbahagia atas terpilih dan dilantiknya Datuk Anwar Ibrahim sebagai Perdana Menteri ke-10 oleh Yang Dipertuan Agong Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah pada Kamis 24 November 2022.
Ada pun di Tanah Air, kita dikejutkan oleh terbongkarnya kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua yang disebut “Ferdy Sambo Gate” serta kasus susulan “Ismail Bolong Gate”. Selain itu adalah tragedi berdarah yang menimpa suporter sepak bola di Kanjuruhan Malang yang merenggut korban 134 wafat serta gempa bumi berkekuatan 5,6 magnitude di Cianjur yang mengakibatkan 600 warganya wafat, ratusan luka-luka, ribuan rumah rusak berat-sedang-ringan.
Begitu juga mengamuknya Gunung Semeru di Lumajang, longsor di Bogor dan “ujug-ujug” viralnya secara fenomena sosial SCBD di Dukuh Atas, DKI Jakarta. Juga ketentuan tentang penggantian Gubernur DKI dan para kepala daerah yang habis masa jabatannya oleh pejabat tunjukan Mendagri yang bikin kita semua “bengong”.
Padahal jauh hari filsuf Saint Augustine atau Augustine of Hippo (13 November 354 – 28 Agustus 430 M) sudah beropini: “Hukum yang tidak adil sama saja dengan tidak ada hukum.” Narasi ini termaktub juga di dinding gerbang Fakultas Hukum Harvard University.
Berbagai peristiwa tersebut di atas terjadi baik lantaran ulah manusia dengan segala syahwatnya maupun alam atau hukum alam yang belum banyak kita pahami secara utuh, otentik, final. Dalam QS Al-Baqarah/2 : 29 Allah menegaskan : “Allah menciptakan langit, bumi dan segala isi dunia ini adalah untuk manusia. Penganugerahan alam raya untuk manusia ini berdasarkan ilmu dan pengetahuan-Nya yang sempurna.” Sebuah ayat Allah yang bernilai maknawi dan syariati.
Untuk itu kita manusia sejagat sudah semestinya bersikap arif dan bijak dalam mengelola rahmat dan karunia Allah di Alam Mulk ini. Untuk itu pula kita membutuhkan bimbingan dan ajaran yang shahih, otentik dan al-Haq sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai sosok “Al-Qur’an berjalan” dan “role model” yang akhlaknya paling mulia di permukaan bumi, sekaligus Negarawan sejati.
Sosok kekasih Allah yang memiliki “jalur komunikasi khusus” dengan Allah Swt. Dan karenanya Allah berkenan menginformasikan keadaan masa depan Islam dan umat-Nya, keadaan surga dan neraka serta siapa saja penghuninya, para sahabatnya yang masuk surga-Nya, tentang pentingnya sholat dan hidup sholeh, tentang azab buat manusia musyrik, destruktif, zalim, batil, culas, licik, serta tanda-tanda jelang Hari Kiamat yang mulai diperlihatkan oleh alam berupa musibah dahsyat maupun oleh ulah manusia sendiri. Baik melalui Al-Qur’an yang disampaikan oleh Malaikat Jibril As maupun dalam “komunikasi agung” langsung antara Allah Swt dan Nabi Saw di Sidratul Muntaha yang juga dikomunikasikan dalam kitabullah Al-Qur’an.
Barangkali di sinilah Sayyid Sabiq, ulama ahli Fiqih kelahiran Mesir 1915 dan lulusan Universitas Al-Azhar menulis dengan eloknya begini, “Kita manusia sangat memerlukan perbaikan jiwa ini dengan pengobatannya agar masyarakat dibimbing oleh rasa cinta, kasih sayang, kerja sama, preferensi, kedermawanan dan kebajikan. Keutamaan-keutamaan ini tidak ada sumbernya kecuali agama dan keimanan. Tidak ada agama selain agama Islam yang dapat mengemukakan keutamaan-keutamaan kemanusiaan ini. Dan yang demikian bukan hanya pendapat kita, tetapi pendapat sarjana-sarjana barat yang mempelajari Islam dan memahami hakikat-hakikatnya.”. **
*) Jurnalis Senior, Wapemred Majalah Eksekutif Jakarta 1990, Pemenang Lomba Karya Tulis Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) – LIPI, 1985
Comment