by

Republika Menjemput Takdir

Oleh Anif Punto Utomo
Penulis buku ‘Republika 17 Tahun Melintas Zaman’

’Hmm bagus..bagus..’’ komentar Soeharto sembari tak lupa melemparkan senyumnya. ‘’Tapi lebih baik di belakang ditambahi huruf ‘A’ jadi Republika..biar tidak muncul persepsi yang macem-macem.’’

Akhirnya koran milik umat itu dinamai Republika seperti usulan Soeharto.

Petikan paragraf di atas dikutip dari buku ‘Republika 17 Tahun Melintas Zaman’ yang ditulis pada 2010.

Peristiwa itu berlangsung akhir 1992 ketika BJ Habibie sebagai ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) meminta restu kepada Presiden Soeharto untuk menerbitkan koran umat. Tanpa restu presiden, koran tak bakal terbit.

Dari situlah perjalanan surat kabar Republika yang kemudian terbit 4 Januari 1993 dimulai.

Republika lahir menjawab kegelisahan umat dimana saat itu terjadi tirani minoritas dalam pengusaan informasi. Perlu keseimbangan informasi untuk menyuarakan kepentingan umat Islam.

Awal 1990an adalah kesempatan yang tepat karena saat itu mulai terjadi perubahan politik yang tadinya menganggap umat Islam memusuhi pemerintah, menjadi umat Islam yang bisa diajak kerjasama. Dibolehkannya ICMI berdiri menjadi salah satu pertanda.

Ketika Republika terbit, sambutan masyarakat sangat luar biasa. Oplah koran yang istilahnya baru seumur jagung itu langsung melejit tembus 100 ribu eksemplar per hari.

Dan yang tak kalah penting, Republika telah menjadi referensi bagi masyarakat dan pengambil keputusan.

Tak jarang terjadi pertarungan ideologi dengan media lain. Dalam kasus UU No 44 Pornografi misalnya arus media utama menolak, sementara Republika mendukung demi kemaslahatan umat.

Atau ketika menggolkan UU No 20 tahun 2003 tetang Sisdiknas yang mewajibkan sekolah Kristen menyediakan guru Islam dan sebaliknya. Republika mendukungnya dan harus bertarung dengan media lain yang menolaknya.

Republika juga menjadi ‘anak nakal’ Orde Baru karena paling berani bersuara lantang di tengah pemerintahan yang otoriter.

Ketika koran lain tiarap memberitakan Petisi 50 (kelompok bersisi 50 tokoh bangsa yang kritis teerhadap Orde Baru), Republika secara sadar menulis kiprah mereka.

Begitu juga berita yang mendukung pembubaran Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), Republika tampil di depan.

Ketika teknologi internet mulai tiba, Republika tampil menjadi koran pertama yang membuat edisi online per 17 Agustus 1995. Nama yang dilekatkan adalah Republika Online. Isinya memindahkan edisi cetak ke online. Meski begitu, masyarakat Indonesia di seluruh penjuru dunia sudah bisa memantau berita ter-update dari tanah air.

Tiba-tiba krisis ekonomi 1998 menerjang. Infrastuktur politik dan ekonomi Indonesia runtuh dalam waktu singkat.

Di bidang politik, krisis memaksa pemerintahan Orde Baru yang mencengkeram selama 32 tahun berakhir.

Di bidang ekonomi, hampir semua bisnis tumbang. Ada yang mati, ada yang bangkit lagi, ada yang harus diselamatkan pihak lain. Republika salah satunya, Mahaka Grup menggantikan ICMI.

Secara kebetulan, bersamaan dengan terjadinya krisis, pemanfaatan internet semakin mewabah dan pada akhirnya memicu perubahan perilaku manusia di seluruh bumi.

Munculnya portal berita yang menyajikan berita terbaru disambut antusias oleh masyarakat. Berita ter-update yang langsung bisa diakses dari manapun dan sifat platform yang interaktif semakin mempesona masyarakat modern yang serba praktis.

Pada 2008 perubahan perilaku masyarakat itu mulai memakan korban. Di Amerika, surat kabar The Christian Science Monitor yang sudah berusia 100 tahun, tutup.

Tahun-tahun berikutnya ribuan koran menyusul. Fenomena tumbangnya koran merembet ke Inggris, Jerman, Jepang, India, dan negara di seluruh dunia. Masa keemasan koran berakhir.

Indonesia tak terkecuali. Harga kertas makin mahal, ongkos cetak makin tinggi, dan oplah merosot tajam semakin melengkapi penderitaan surat kabar. Pendapatan tak seimbang dengan biaya operasional. Maka datanglah berita Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Jakarta Globe, dan Koran Tempo berguguran, berhenti terbit.

Disrupsi digital tak bisa dilawan. Berakhirnya koran cetak adalah keniscayaan. Semua akan tiba waktunya. Republika pun begitu, edisi 31 Desember 2022 ini adalah koran terakhir. Tak perlu ditangisi.

Selama tiga dekade Republika telah menemani umat lewat koran cetak, kini ketika dunia informasi dikuasai gadget tidak ada jalan lain kecuali harus menyesuaikan diri.

Menyadari bahwa mustahil melawan disrupsi digital, Republika memilih berdamai. Menurut istilah Direktur Republika Aris Hilman, Republika mengambil jalan langkah kanan berikutnya. Transformasi ke digital.

Bagi Republika, transformasi ke digital bagaikan menjemput takdirnya sebagai pelopor berita online yang dimulai sejak 1995.

Edisi koran boleh berhenti, tetapi nama Republika yang diberikan Soeharto tetap abadi. Semangat menyuarakan kepentingan Islam untuk menjaga agar umat tak terpinggirkan sebagaimana yang ditiupkan ICMI terus menyala. Repulika harus tetap berjalan di atas rel umat, apapun platformnya.@

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *