by

Sekolah Ramah Anak Kini Jadi Sebuah Kebutuhan

Walikota Depok bersama sejumlah kepala dinas,  camat dan kepala sekolah menandatangani deklarasi Sekolah Ramah Anak,  Senin 2 April 2018 lalu.
Walikota Depok bersama sejumlah kepala dinas, camat dan kepala sekolah menandatangani deklarasi Sekolah Ramah Anak, Senin 2 April 2018 lalu.

DepokRayanews.com- Pada acara deklarasi Sekolah Ramah Anak (SRA), Walikota Depok Mohammad Idris mengutip hasil penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) soal kekerasan terhadap anak di sekolah.

Data KPAI Tahun 2017 menunjukan bahwa 84 persen anak Indonesia mengalami kekerasan di sekolah.

Angka ini jelas saja mengejutkan banyak pihak karena tertinggi dibanding negara lain yang notabene karakter bangsanya terkenal keras. Di Pakistan misalnya, kekerasan terhadap anak di sekolah 73 persen, kemudian Nepal 76 persen dan Vietnam 79 persen.

Kota Depok belum punya data soal ini. Karena itu walikota memerintahkan untuk segera dilakukan penelitian atau kajian supaya terlihat bagaimana kondisi ril di lapangan.

Meski belum punya data khusus Kota Depok, tapi walikota meminta soal kekerasan terhadap anak di sekolah menjadi perhatian serius. “Kekerasan terhadap anak di sekolah menjadi tantangan dunia pendidikan. Bagaimana supaya ini bisa diselesaikan, karena akan berdampak buruk terhadap masa depan mereka,” kata walikota.

Dunia pendidikan memegang peran penting dalam pembentukan karakter bangsa. “Pemimpin berkarakter lahir dari lembaga pendidikan yang baik. Jadi jangan bermimpi punya pemimpin yang berkarakter kalau lembaga pendidikannya tidak disiapkan dengan baik, ” kata Idris.

Mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah salah satu cara untuk mengeleminir terjadinya kekerasan di sekolah.

Tren meningkatnya kekeraaan di sekolah menyulut kegelisahan banyak pihak, termasuk walikota, Ketua Tim Penggerak PKK, Elly Farida dan pejabat Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Pemerintah Kota Depok.

Bunda Elly Farida (dua dari kanan) bersama Sekdis DPAPMK Erry Sriyanti dan Kabid Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak Yulia Oktavia.
Bunda Elly Farida (dua dari kanan) bersama Sekdis DPAPMK Erry Sriyanti dan Kabid Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak Yulia Oktavia.

Yang menarik, meski Undang-undang Perlindungan Anak (PA) sudah dikeluarkan Tahun 2002 yakni nomor 23 Tahunn 2002, kemudian diubah menjadi Undang-undang nomor 35 Tahun 2014, ternyata masih banyak masyarakat yang belum tahu dan mengerti, termasuk guru-guru di sekolah.

Sebuah survei yang dilakukan Yayasan Gugah Nurani Indonesia terkait pemahaman guru terhadap Undang-undan Perlindungan Anak menunjukan hasil yang mengejutkan.

Banyak guru yang tidak memahami apa itu SRA. Sebanyak 58 persen guru tidak memahami hak anak, dan 83 persen guru menganggap bahwa hukuman adalah bentuk pendisiplinan di sekolah.

Ini survei secara nasional. Di Depok belum tahu kondisinya seperti apa karena belum pernah ada survei khusus untuk itu.

DPAPMK khususnya bidang tumbuh kembang anak dan pengembangan Kota Layak Anak sejak beberapa tahun terakhir gencar melakukan sosialisasi UU PA yang di dalamnya tercakup soal Kota Layak Anak (KLA), Sekolah Ramah Anak (SRA) dengan segala turunannya.

Kabid Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak,  Yulia Oktavia memberikan pemaparan di depan ratusan kepala sekolah se Kota Depok tentang Sekolah Ramah Anak.
Kabid Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak, Yulia Oktavia memberikan pemaparan di depan ratusan kepala sekolah se Kota Depok tentang Sekolah Ramah Anak.

“Hampir setiap hari kami turun ke masyarakat untuk mengkampanyekan atau sosialisasi soal UU PA yang di dalamnya ada KLA, SRA dan sebagainya menyangkut soal perlindungan anak,” kata Yulia Oktavia, Kabid Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak DPAPMK Kota Depok.

Menurut Yulia, pihaknya juga mensosialisasikan Konvensi Hak Anak (KHA) di berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya kepala sekolah, guru, pihak kecamatan, kelurahan, RW, tim posyandu, PKK, rumah sakit, tapi juga sampai ke kalangan dunia usaha.

Walikota Depok meminta deklarasi SRA oleh 354 sekolah dasar, SLTP dan SLTA tidak hanya sekedar deklarasi atau acara seremoni. Tapi benar-benar harus diwujudkan.

Yulia Oktavia menyebut banyak yang harus dilakukan sekolah untuk benar-benar bisa menjadi SRA. “SRA itu bukan bangunan fisik. Tidak mesti bangunan yang sudah ada harus dirubuhkan untuk bisa menjadi SRA, ” kata Yulia di depan ratusan kepala sekolah se Kota Depok, Senin (2/4/2018).

Secara fisik, memang harus diperhatikan hal-hal yang tidak ramah terhadap anak. Misalnya tiang yang bersudut runcing, pinggir atau sudut meja yan runcing, pemasangan pintu utama kelas yang membuka ke dalam, akses jalan yang tidak rata, terlalu dekat dengan jalan raya dan sebagainya.

Yang nonfisik, ada peraturan sekolah yang menyangkut sanksi, beban tugas sekolah, sosialisasi antar siswa dan guru, komunikasi antar siswa dan prilaku siswa itu sendiri.

Yang paling penting, kata Yulia, bagaimana agar pendisiplinan di sekolah dilakukan tanpa kekerasan.

Seringkali hukuman tidak memberi alternatif lain. Kalau ada anak yang terlambat, tidak boleh masuk sekolah, atau disuruh pulang ke rumah.

Pertanyaannya apakah si anak yang tidak boleh masuk sekolah tadi benar-benar pulang ke rumah?

Bukankah mereka keluyuran atau nongkrong di warung karena takut dimarahi orangtua karena tidak masuk sekolah?. Bahkan bisa jadi kemudian dia janjian dengan temannya untuk pergi bersenang-senang.

Alangkah sedihnya kalau itu kemudian terjadi pada siswi, dia janjian sama teman laki-lakinya kemudian menghabiskan waktu sampai menunggu jam pulang sekolah. Kemungkinan apapun bisa terjadi saat itu. Pola pendisiplinan seperti itu perlu dikaji kembali.

Karena datang terlambat anak anak tidak boleh masuk sekolah,  akhirnya mereka nongkrong di warung atau taman dekat sekolah.
Karena datang terlambat anak anak tidak boleh masuk sekolah, akhirnya mereka nongkrong di warung atau taman dekat sekolah.

Untuk bisa memberikan penanganan dan solusi terbaik, perlu dilakukan pemetaan secara konprehensif permasalahan anak di sekolah dan cara guru dalam menghadapi atau menangani permasalahan.

Banyak sekali persoalan yang dapat disisir dari berbagai persoalan di sekolah.

Perlu pula menyebarluaskan praktek-praktek nyata yang dapat memberikan hasil yang baik bagi siswa misalnya mereka lebih riang dan nyaman dalam belajar, prestasi naik, karena mereka merasa aman dan nyaman di sekolah.

Menurut Yulia, kekerasan tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun. Begitu juga di sekolah. Tidak boleh ada kekerasan yang dilakukan oleh guru dengan alasan apapun. Hal ini sudah diatur dalam UU Perlindungan Anak.

SRA harus dibangun di semua sektor. Karena itu pelatihan konvensi hak anak (KHA) harus digalakan di semua sektor.

Membangun SRA harus melibatkan semua pihak karena SRA menyangkut berbagai hal seperti sarana prasarana harus ramah anak, mendengarkan suara anak dan sebagainya. Bebas dari kekerasan di sekolah hanyalah salah satu dari indikator SRA.

SRA adalah sebuah kebutuhan agar anak bisa belajar dengan nyaman, senang, tentram, tidak terancam, dapat menumbuhkan karakter dan bisa mandiri.

SRA harus mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan anak ke dalam penyelenggaraan pendidikan, yang melibatkan manajemen sekolah dengan tidak mengecilkan partisipasi anak dalam mengambil keputusan, pembelajaran yang aktif, menyenangkan dan interaksi yang poaitif antara guru dan anak didik.

Peran sekolah terutama kepala sekolah dan guru sangat penting untuk menerapkan SRA. Namun rancangan SRA harus berangkat dari kebutuhan anak didik.

Yang perlu disadari, kata Yulia adalah bahwa peserta didik bukan objek, melainkan subjek pendidikan yang akan mendapatkan pelayanan SRA.

Ini memang tidak mudah bagi guru untuk melakukannya karena dianggap bisa mengurangi kewibawaan guru.

Tapi hal ini diharapkan menjadi contoh juga bagi orangtua agar bersikap serupa yakni menyenangkan anak dan menghilangkan kekerasan di rumah.

Bagaimanapun guru dan orangtua adalah orang yang berada digarda paling depan untuk melindungi anak. (adi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *