by

Sri Langka, Yes! Sri Lanka, No!

Oleh: Anif Punto Utomo
Wartawan Senior dan Penulis Buku

SRI LANGKA dan Sri Lanka, pelafalannya sama tetapi pengertiannya jauh beda.

Indonesia terancam Sri langka, bisa jadi betul. Coba amati. Pasca Indonesia merdeka sampai 1980-an, terdapat dua nama popular, khususnya di Jawa, yang diberikan orangtua yakni Bambang untuk laki-laki dan Sri untuk perempuan.

Di zaman milenial nyaris tak ada anak-anak diberi nama itu. Kebetulan, menteri yang bertanggungjawab soal ekonomi bernama Sri. Berani bertaruh, Sri Mulyani akan menjadi menteri terakhir yang memiliki nama Sri.

Jadi tak salah jika Indonesia mengalami kelangkaan nama Sri atau Sri langka (huruf ‘l’ kecil dan ada huruf ‘g’ di tengah).

Nah jika Sri langka benar, bagaimana dengan Sri Lanka, apakah spekulasi bahwa Indonesia akan mengalami kondisi seperti yang dialami negara di selatan India itu benar?

Beberapa bulan terakhir Sri Lanka dirundung resesi ekonomi sampai kemudian bangkrut. Rakyat marah dan memaksa Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa mundur.

Namun Rajapaksa tak mau dipaksa. Dari pada mundur dia memilih menjadi pengecut dengan kabur ke luar negeri sambil membawa uang hasil korupsinya.

Jadi jika kita mau melihat bagaimana sebuah negara bangkrut, itulah Sri Lanka. Ciri-cirinya: negara tidak mampu membayar utang, negara tidak bisa membayar gaji pegawai negeri, negara tidak bisa menyediakan pangan untuk rakyat dan energi, sekolah ditutup, rumah sakit nyaris tak ada obat-obatan.

Pemerintahan Rajapaksa baru terbentuk 2019. Tak lama kemudian terjadi pendemi Covid-19. Dia kemudian mengeluarkan kebijakan populis berupa pengurangan pajak.

Konsekuensinya penerimaan negara berkurang 1,4 miliar dolar per tahun. Kemudian untuk menghemat devisa pemerintah melarang impor pupuk kimia, dan meminta petani menggunakan pupuk organik lokal. Akibatnya panen gagal, mereka kekurangan pangan.

Pada saat bersamaan Sri Lanka memaksa diri membangun proyek infrastruktur besar-besaran seperti jalan, bandara, dan pelabuhan yang tidak urgent dengan berutang ke China. Utang luar negeri kian membengkak. Kehidupan mewah dan korupsi yang dilakukan presiden, memperparah ekonomi Sri Lanka.

Berapa utang Sri Lanka? Total utang 51 miliar dolar AS atau sekitar Rp 757,5 triliun. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF) rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 109 persen. Artinya, total output yang dihasilkan negara itu pun masih tidak cukup untuk membayar lunas utangnya. Sementara negara juga tak ada pendapatan, uang kas negara terkuras, itulah kenapa mereka tidak mampu membayar pegawai.

Cadangan devisa Sri Lanka yang mencapai 7,6 miliar dolar AS pada akhir 2019, kini hanya tersisa 250 juta dolar AS. Penyebabnya neraca perdagangan selalu negatif, impor lebih besar dibanding ekspor.

Andalan devisa lain yakni pariwisata drop gara-gara Covid. Wisatawan asing yang tadinya 2,3 juta tiap tahun menjadi hanya 200 ribu. Dengan cadangan devisa minim, mereka tak mampu mengimpor BBM, transportasi lumpuh dan listrik padam.

IMF sudah siap-siap mem-bailout (memberi bantuan keuangan).

Indonesia akankah bernasib Sri Lanka? Survei yang dilakukan Bloomberg di 15 negara Asia memasukkan Indonesia bersama Sri Lanka dalam negara yang terancam resesi.

Sri Lanka di peringkat-1 dengan persentase probabilitas 85 persen, dan Indonesia peringkat-14 dengan probabilitas tiga persen. Lantaran masuk dalam daftar itu lantas muncul spekulasi bahwa Indonesia sama bahayanya dengan Sri Lanka.

Apalagi ada kesamaan program yakni infrastruktur besar-besaran. Begitu pula dalam debt service ratio (DSR) atau perbandingan antara angsuran utang luar negeri beserta bunga dan jumlah nilai ekspor negara, menurut Bank Dunia pada 2020 Indonesia 37,5 persen dan Sri Lanka 39,3 persen. Hampir sama.

Secara umum ketahanan ekonomi Indonesia OK. Dari di sisi utang, mengutip Buku APBN Kita edisi Juni 2022 posisi utang Pemerintah Indonesia sampai akhir Mei 2022 sebesar Rp 7.002 triliun (dari jumlah itu 188,2 miliar dolar AS-Rp 2.820 triliun adalah utang luar negeri). Rasio utang terhadap PDB sekitar 38,88 persen.

Cadangan devisa menguat. Pada Mei 2022 tercatat 135,6 miliar dolar AS atau setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Posisi di atas standar kecukupan internasional yang tiga bulan impor.

Neraca perdagangan sampai pada Juni 2022 tercatat 24,89 miliar dolar AS, dua kali lipat dibanding semester I 2021. Indikator ekonomi seperti inflasi misalnya meskipun tertinggi dalam lima tahun terakhir (4,35 persen) masih relatif terjaga. Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2022 mencapai 5,0 persen. Realisasi pendapatan negara semester I sekitar Rp 1.317,2 triliun atau 58,1 persen dari target.

Untuk DSR, posisi aman menurut IMF berkisar antara 25-35 persen, sedangkan International Debt Relief (IDR) sebesar 28-63 persen. Jika ekspor dijaga dengan baik, posisi DSR akan tetap aman.

Dari situ tampak ekonomi Indonesia lebih baik dibanding Sri Lanka. Tetapi jangan juga terlena. Kita punya pengalaman terninabobokkan dengan indkator ekonomi yang bagus pada 1997, tetapi begitu terjadi krisis, ekonomi kita langsung hancur. Optimis, namun tak menganggap enteng resesi yang tengah mengancam berbagai negara.

Jika ada yang mengatakan Sri langka, itu betul. Namun jika menyamakan Indonesia dengan Sri Lanka, no!@

Selasa, 19 Juli 2022

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *