by

Farabi El Fouz: IDI Harus Memperhatikan Nasib Dokter

PB IDI mengadakan pertemuan dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.
PB IDI mengadakan pertemuan dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.

DepokRayanews.com- Sebagai wadah tempat bernaung seluruh dokter di Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) harus memperhatikan nasib para dokter, saat ini dan di masa yang akan datang.

“IDI sebagai organisasi profesi, tidak boleh melupakan nasib para dokter yang bekerja siang malam untuk melayani masyarakat,” kata Sekretaris Bidang Advokasi Lembaga Legislatif Pengurus Besar (PB) IDI, dr. Farabi El Fouz, Sp.A, M.Kes, Selasa (26/3/2019) menanggapi hasil pertemuan PB IDI dengan Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo.

Pemgurus Pusat IDI pada Senin (25/3/2019) bertemu Ketua DPR RI guna membahas revisi Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Dalam pertemuan itu, Ketua DPR RI mendukung agar UU itu bisa diselesaikan sebelum DPR RI periode 2014-2019 berakhir pada Oktober 2019.

Menurut Farabi, banyak hal yang harus dilakukan sebagai bentuk perhatian IDI dan pemerintah kepada para dokter. Salah satunya dengan merevisi UU Pendidikan Kedokteran yang tepat untuk masa yang akan datang.

“Salah satu hal perlu digarisbawahi bahwa dokter tidak bisa dikriminalisasi, dipidana atau diadili tanpa rekomendasi dari majelis etik dan disiplin, kodokteran Indonesia,” kata Ketua DPD Partai Golkar Kota Depok itu.

Menurut Farabi, untuk menjadi dokter ada 2 hal yang penting diperhatikan yakni masalah pendidikan dan pelayanan. Keduanya harus disinkronkan dengan baik. “IDI sangat concern dengan 2 hal tadi. Karena itu IDI akan memperjuangkan pendidikan kedokteran yang baik dan berorientasi pada pelayanan kesehatan masarakat Indonesia.

Bidang advokasi IDI, kata Farabi, merasa perlu mengadvokasi hal ini kepada wakil-wakil rakyat di DPR RI agar segera merevisi UU Pendidikan Kedokteran demi kebaikan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang paripurna bagi masyarakat Indonesia.

Dalam pertemuan dengan PB IDI, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo menyampaikan pandangannya bahwa masalah kedokteran bukan hanya pada sistem pendidikannya saja, melainkan juga bermuara kepada pelayanan. ”Harus ada link and match antara pendidikan dan pelayanan, sehingga bisa melahirkan para tenaga medis yang terampil, sesuai dengan kaidah profesi kedokteran dunia,” ujar Bambang.

PB IDI yang hadir pada pertemuan itu, antara lain, , Dr. Daeng M Faqih (Ketua Umum), Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG (Ketua Purna), Dr. Mahmud Ghaznawie, Ph.D, Sp.PA (Dewan Pakar), Dr. M. Nasser, Sp.KK,LLM, D.Law (Dewan Pakar), Dr. Mariya Mubarika (Ketua Bidang Advokasi Lembaga Legislatif), Dr. Farabi El Fouz, Sp.A, M.Kes (Sekretaris Bidang Advokasi Lembaga Legislatif) dan Dr. Muhammad Akbar (Ketua Bidang Pendidikan, Riset, dan Alih Teknologi Kedokteran).

PB IDI sempat menyampaikan kegelisahan mereka terkait kemelut di dunia kedokteran. Keberadaan UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang dimaksudkan meningkatkan standar mutu kedokteran, justru menimbulkan berbagai disharmoni.

Ada ketidakharmonisan antara sistem pendidikan dengan ujian kompetensi. Akibatnya, banyak mahasiswa kedokteran tidak lulus Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang merupakan syarat memperoleh sertifikat kompetensi dan profesi, sebagai pengganti ijazah kedokteran. 

Keberadaan UKMPPD yang memberikan kewenangan kepada kampus menentukan kelayakan seseorang menjadi dokter, dinilai IDI tidak sejalan dengan ketentuan kedokteran dunia yang mengacu pada World Federation for Medical Education. Karena berdasarkan aturan lembaga tersebut, kampus hanya berwenang di pendidikan dasar medis. Sementera profesi dipegang kolegium. Selain itu, IDI menilai adanya Dokter Layanan Primer (DLP) bisa mengancam posisi 50.000 lebih dokter umum yang sudah mengabdikan dirinya di berbagai daerah. 

Menyikapi hal tersebut, Bambang mengajak IDI menjadi mitra kerja aktif DPR RI dan pemerintah, sehingga bisa memberikan masukan yang menyeluruh terhadap revisi UU Pendidikan Kedokteran. Jangan sampai hasil revisi menjadi mentah kembali lantaran tidak sesuai dengan aspirasi para tenaga medis.

Menurut Bambang, jumlah dokter yang mencapai 172.000 merupakan aset berharga yang perlu terus ditambah jumlahnya, sehingga bisa memaksimalkan peningkatan kesehatan masyarakat. Sebagai profesi yang mempunyai kekhususan (lex specialis), dokter juga harus dilindungi profesinya. (red)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *