by

Sikut – sikutan

Oleh: Rudi Murodi

Pengalaman menggambarkan untuk menjadi seorang kepala daerah tingkat kabupaten atau kota di Pulau Jawa, setidaknya diperlukan cuan hingga milyaran rupiah.

Kalau cuma siap dengan ratusan juta rupiah, sebaiknya jangan pernah bermimpi untuk menjadi seorang bupati atau walikota. Lebih baik kalau cuan itu digunakan untuk kepentingan lain yang lebih memberi keberkahan dalam kehidupan.

Dengan modal yang cukup besar dan perjuangan yang sangat panjang, ternyata animo orang-orang untuk menjadi kepala daerah tetap cukup tinggi.

Bahkan hampir dipastikan, banyak kepala daerah yang ingin memperpanjang jabatannya hingga dua periode. Jika saja undang-undang membolehkan, boleh jadi ingin menjabat sepanjang hidupnya. Rupanya menjadi kepala daerah itu mengasyikkan. Orang-orang pun berebut untuk meraihnya.

Jadi ingat iklan sebuah perusahaan furniture yang bunyinya ” kalau sudah duduk lupa berdiri”. Betapa hebatnya kekuasaan.

Bila tidak dilandasi imaƱ yang kuat, kekuasaan bisa saja menjerumuskan seseorang ke dalam kenistaan.

Kita saksikan ada menteri yang terkena Operasi Tangkap Tangan KPK. Ada juga anggota DPR yang terlibat korupsi dan suap. Dan cukup banyak kepala daerah yang menjadi penghuni Hotel Pordeo.

Saking asyiknya menggenggam kekuasaan, sah-sah saja bila banyak orang yang ingin meraihnya.

Untuk menjadi anggota DPR/D atau DPD, tidak sedikit yang “berperang” di internal partai politiknya.

Perebutan tiket memperoleh nomor urut yang baik, terkadang diwarnai oleh perilaku yang tidak terpuji. Saling fitnah dan menjelekan sesama kader kerap kali terjadi. Yang dipentingkan bagaimana dirinya mampu mendapat nomor urut yang baik.

Suasana seperti ini, mestinya tidak perlu terjadi. Sesama kader partai politik, dirinya harus rela untuk mengakui kekebihan orang lain dan menerima kelemahan diri sendiri.

Budaya adiluhung telah mengingatkan agar dalam mengarungi kehidupan, prinsip silih asah, silih asih, silih asuh dan silih wawangi harus selalu mewarnai kiprah seseorang.

Setiap orang yang hidup dan bermasyarakat di Tanah Merdeka, memang memiliki hak untuk menjadi penguasa.

Tidak ada aturan yang melarang seorang guru besar untuk menjadi presiden. Tidak ada pula aturan yang menjegal seorang tukang parkir untuk menjadi wakil rakyat.

Bahkan seorang ulama besar pun memiliki kesempatan untuk menjadi pimpinan partai politik. Betapa terbukanya peluang untuk jadi penguasa di negeri ini.

Masalahnya adalah mengapa kita sering saksikan adanya keributan diantara sesana anak bangsa dalam perjalanan merebut kekuasaan tersebut ?

Bukankah kekuasaan yang diemban seseorang, pada hakekatnya merupakan kehormatan dan tanggungjawab untuk mensejahterakan nasib sesama ?

Ironis sekali, jika dalam perjalanan menjadi penguasa harus direcoki oleh pertengkaran yang tidak bermutu.

Persoalan lain yang semakin tampak dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, untuk menjadi penguasa publik di negara kita, sangat membutuhkan cuan yang tidak sedikit.

Masalah cuan, kini benar-benar sudah transparan disekitar kehidupan. Terlepas dari dilarangnya politik uang dalam proses pemilihan umum, namun di berbagai daerah masih kita saksikan adanya calon Anggota DPR yang bagi-bagi amplop di saat kampanye berlangsung.

Lebih seru lagi, jika banyak calon yang ingin mendapat dukungan suara pemilihnya. Perang cuan pun terjadi begitu marak.

Calon yang satu saweran Rp.50.000,-. per orang. Lalu, calon lain pun tak mau kalah. Dirinya nyawer Rp.100.000,- Hal ini terus berlangsung hingga sang calon kehabisan cuan nya. Rakyat sih senang-senang saja melakoninya. Kalau soal nyoblos sih, gimana anginnya saja.

Fakta kehidupan semacam ini, terus terang telah berjalan sejak lama. Diberlakukannya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, membuat masyarakat semakin tertarik untuk mengikutinya.

Yang ditunggu, bukannya program apa yang ditawarkannya semasa kampanye, tapi yang lebih dinantikan kapan para calon akan memberi saweran di saat masa kampanye tiba.

Bagi masyarakat ajang kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pemilihan Umum Legislatif adalah kesempatan untuk memperoleh rejeki nomplok guna memperlancar roda kehidupan kesehariannya.

Rakyat sangat suka momen ini. Mereka begitu bersuka-ria bila para calon membawa sarung untuk dibagikan kepadanya. Begitu juga dengan hadiah kaos yang bergambar foto diri sang Calon.

Ini berarti, kalau rakyat mau menerima kehadiran beragan calon yang datang ke kampungnya, mengapa para calonnya sendiri seperti yang bertengkar dalam merebut kekuasaannya ? Belajar banyaklah kepada masyarakat. Merebut kekuasaan itu tidak perlu bertengkar, namun jalani dengan penuh keikhlasan.

Uhuyyy……

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *